Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Awalnya Cuma Kelas Menulis Biasa, tapi..

27 November 2022   08:45 Diperbarui: 8 Juni 2023   12:17 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay

Diantara mereka , ada anak yang selalu saja menulis "pertemuannya" dengan mahluk halus, entah berfantasi, halu atau memang punya indera keenam.

Sampai setiap kali berada sendirian di ruang labkom, selalu saja aku melihat ke arah pojok kanan, karena katanya disana duduk seorang murid perempuan berwajah baik, tapi tak pernah tersenyum dan pendiam. Matanya selalu mengarah ke papan tulis putih yang besar di ruang labkom itu, sekalipun papan itu kosong!.

Ia juga menulis jika kamar mandi labkom juga ada penghuninya, padahal itu satu-satunya kamar mandi di ruangan tempat aku bekerja seharian, mana lampunya mati sejak beberapa bulan lalu, tanpa ada kejelasan bagian sarpras untuk memasang bohlamnya. Terakhir bohlam berwarna kuning kusam menyala redup dan akhirnya berkedip hidup mati seperti ruang horor,  tapi dengan sedikit rasa menghibur, aku sebut dengan gembira, jika lampu itu lampu ruang "dugem".

Tapi belakangan ruang itu menjadi terasa horor. Pernah aku tanyakan, apakah semua tulisannya benar soal hantu sekolah, ia cuma menyeringai seperti peserta American Got Talents asal Indonesia yang menenteng boneka, dan aku langsung merinding.

Tapi dasar aku tak percaya begituan, tetap saja cuek, sambil sesekali memastikan apakah ada sesuatu yang bergerak dari kamar mandi atau pojok labkom, huh, baper!!.

Tapi kelas menulis memang bisa menjadi medium mengenali anak dengan karakternya. Itu pengalaman hidup yang baru yang aku peroleh dari kelas menulis "abal-abalku" karena lebih tepatnya, sebenarnya aku cuma niat ingin belajar menulis, tapi butuh teman!.

Menulis Sebagai Terapi

Terapi menulis digunakan oleh beberapa ahli kesehatan mental untuk mengatasi stres dan depresi dan kecemasan dalam diri seseorang. Bentuknya beragam mulai dari menulis jurnal, menulis diari, hingga puisi sekalipun. Lewat media ini, seseorang bisa mengekspresikan apa yang mengganjal dalam dirinya.

ilustrasi gambar-rosdiana diary
ilustrasi gambar-rosdiana diary

Aku menemukan sebuah potongan menarik dari tulisan atau curhatan Siti Rubaidah, mungkin kita bisa merenunginya bersama.

   "Aku ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana menghapus trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga. Aku dan anak sulungku mempunyai hobi yang sama dalam hal menulis. Bedanya aku suka menulis non fiksi seperti artikel, opini, memoar dll. Sedangkan anakku lebih suka menulis fiksi terutama cerpen atau novel. 

Dengan menulis non fiksi kita butuh membaca, merenung dan berpikir. Hal ini sedikit melenakan beban yang tak tertanggungkan. Di momen lain aku menangis, meratap, marah dan mengumpat lewat tulisan untuk diri sendiri. Belum ada rencana apapun soal tulisan, tapi kami menikmatinya sebagai sebuah obat hati. Dari hobi menulis, kami berdua melewati masa-masa sulit akibat trauma. "

Katharina Amelia Hirawan, seorang psikolog mengemukakan bahwa menulis bisa menjadi sebuah terapi bagi penderita gangguan psikologis. 

Begitu juga yang disampaikan seorang Psikolog dari Universitas New South Wales, Keren Baikie, ketika kita menulis kejadian apapun yang membuat kita tertekan, bikin kita emosional, bahkan traumatis, beban-beban itu perlahan bisa berkurang.

Menulis bisa mensugesti pikiran dan hati menjadi lebih tenang, setelah curhatan itu dikeluarkan dari pikiran kita. Sehingga secara fisik dan mental, kita merasa agak baikan. 

Bahkan dalam hasil studi yang dilakukan Keren Baikie, ia meminta partisipannya untuk menuliskan tiga sampai lima peristiwa dalam waktu 15 menit dan hasilnya ternyata benar-benar signifikan sebagai terapi pikiran yang kusut.

Dalam jangka panjang terapi menulis ekspresif, bahkan bisa mengurangi kadar stres, mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, mengurangi tekanan darah, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, memperbaiki fungsi lever, paru-paru, meningkatkan mood dan mengurangi trauma.

Nah jika menulis bisa jadi obat, buat apa ya bergantung terus dengan obat, jika dengan menulis saja bisa membuat hati tenang. 

Terus kalau ternyata memang belum bisa nulis sama sekali?. Tulisa apa sajalah, bahkan termasuk "omelan, kekesalan" yang sedang berkecamuk di hati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun