Bagian 6
Di balik jendela kamar depan, gorden terbuka sedikit oleh tangan keriputnya. Pemilik tangan itu terus menatap kakak beradik yang sedang berbincang di kursi taman. Ah, bukan berbincang tapi lebih tepat berdebat.
Terlihat Anin hanya menunduk menghadapi sikap juga rasa kesal kakak perempuannya. Andini.sesekali terlihat ia mengusap pipinya yabg telah basah oleh airmatanya. Tapi Dini sepertinya belum puas membua Anin terpojok.
Perempuan berkebaya kutubaru [2] itu sepertinya ikut menangis. Apa karena pertengkaran Dini dan Anin? Bisa jadi. Mungkin Perempuan Jawa itu  menyesali perbuatannya. Perbuatan yang tidak pernah ia inginkan.
Ini semua karena Ibu. Ibu yang telah berlaku tidak adil terhadap Mbak Ayu---kakaknya.
"Bu ... Apa tidak sebaiknya Ibu mengubah isi surat wasiat Ibu?"
"Ngopo kok diganti?" [2]
"Ee--ee ... Mbak Ayu lebih berhak, Bu."
"Kata siapa berhak?"
Sri hanya bergeming, jemarinya memainkan ujung kebaya. Pun tak berani ia menatap penglihatan sepuh ibunya itu. Terlebih menjawabnya.
"Kowe rak ngerti, ngopo aku nyoret [3]," Â kata Ibu.
Sri mengangguk lemah. Tapi semua itu tak sepenuhnya salah Mbak Ayu, bisiknya dalam hati.