Bagian satuÂ
"Nin!" panggil ibu. Ini panggilan kedua yang tidak juga membuatku berbicara. Aku ingin menyampaikan pendapatku, tapi ....Â
"Anin!" Dan kini Mbak Dini ikut memanggilku dengan suara lebih keras dibandingkan panggilan ibu sebelumnya.Â
Aku masih menautkan kedua jempolku sambil menunduk. Sementara beberapa pasang mata menanti jawabanku segera. Lidahku masih kelu dan energi yang aku kumpulkan sedari tadi tak cukup membuat keberanianku meningkat.Â
Pelan-pelan aku angkat kepalaku menatap satu per satu keluargaku. Ayah, Ibu, Mbak Dini dan Mas Ageng menunggu jawabanku sedari tadi. Mereka mulai jengah dan marah dengan sikapku. Aku bungsu dari tiga bersaudara yang memiliki watak berbeda dengan kedua saudaraku. Aku cenderung pendiam dan tertutup. Lain dengan Mbak Dini dan Mas Ageng yang lebih leluasa menyampaikan perasaan juga pendapatnya. Aku sering diliputi ketakutan untuk berbicara. Terlebih mengutarakan pendapatku. Seperti sekarang ini.Â
Mereka menunggu jawabanku untuk tetap tinggal atau ikut mereka. Ikut mereka berarti meninggalkan Bibi. Itu artinya sama halnya melupakan janjiku pada Simbah.Â
"Aa-Anin ... di-sini-saja," gagapku. Aku langsung tertunduk kembali tanpa berani melihat ekspresi wajah mereka berempat.Â
Ibu langsung beranjak berdiri dan menghampiri aku. Masih dengan wajah tegang disertai kesalnya, ia bertanya, "Kamu dengar sendiri tadi, kan? Ini rumah punya Bibi! Jangan menjadi benalu berkepanjangan!" hardik ibu.Â
Tetap saja aku tak mengindahkannya. Aku lebih memilih menunduk ketimbang melihat wajah marah ibu yang pasti mengerikan.Â
"Nin, pulang, Nduk. Omahmu udu neng kene," tandas Bapak.Â
Orang terakhir yang biasanya bisa membujukku. Aku tetap bergeming, tanpa memedulikan usaha mereka membujukku. .Â