Mohon tunggu...
Roro Asyu
Roro Asyu Mohon Tunggu... Freelancer - #IndonesiaLebihLemu

suka makan, suka nulis, suka baca, tidak suka sandal basah www.rinatrilestari.wordpress.com www.wongedansby.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bukan Pidato, Cuma Ngomel

11 November 2010   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12894479291547992460

Capek, iya, capek, tiap hari baca tulisan yang isinya ngeluh, maki, marah-marah tapi ujung-ujungnya "memuji diri sendiri." Dampak dari semakin bebasnya orang berekspresi sampai nggak ada lagi privasi dan akhirnya merasa benar sendiri? Harus dipikirkan lagi. Sebagai seorang yang suka menulis, juga suka ngeluh, maki, marah-marah yang ujungnya juga muji diri sendiri (halah, sama aja), tentunya kebebasan berekspresi sangat penting bahkan wajib bagiku. Nggak mau dong kalau untuk mencurahkan pikiran kita sendiri, sampai dilarang-larang, alasannya tentu hak asasi.

Bangun pagi, berharap mendapat energi positif untuk menghadapi dunia yang keras (cie, keras), bisa luntur kalau baca-baca tulisan yang mengandung kata-kata negatif. Baca omelan, ikut ngomel. Baca yang ngeluh-ngeluh serasa semakin tipis harapan untuk bisa bangkit. Baca yang marah-marah, kepala ikut kaku, serasa nggak ada yang bener di dunia ini. Yang paling terakhir nih, agak berat, baca yang, baik dengan cara halus alias tersembunyi maupun yang "blak-blakan," memuji diri sendiri bisa membuat efek yang lebih wah lagi, maki, marah-marah sekaligus jadi memuji diri sendiri.

Lingkaran setankah? Nggak tahu istilahnya apa, seringnya juga "ngawur" untuk menemukan kata yang tepat. Dari pengalaman sendiri aja, setidaknya, aura yang dipancarkan seseorang memang mempengaruhi. Kalau pepatah bilang, "berkawan dengan tukang minyak ikut wangi, berkawan dengan tukang gali comberan ikut busuk (baunya)" (ini agak ngarang ngutipnya, habis macem-macem) terasa sendiri benarnya. Setiap hari mendengar teman yang ngomong kasar, yang tadinya hampir nggak pernah ngomong kasar jadi terbiasa dan ikut-ikutan ngomong kasar. Bukan menyalahkan si teman lho, seratus persen sadar kalau memilih teman adalah pilihan sendiri, bukan paksaan dan si teman pun juga nggak maksa kita untuk ikutan kasar.

Intinya adalah sesuatu yang terbiasa kita dengar, lihat secara kontinu dalam jangka waktu yang cukup lama bisa merubah pandangan kita, terutama ketika kita nggak cukup kuat untuk membentengi diri sendiri alias punya prinsip. Alasannya simpel saja, "wong orang lain aja biasa, kenapa kita nggak?" Parahnya jika yang seperti ini sampai pada hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak, "wong yang lain juga korupsi, kenapa kita nggak? Sudah biasa itu," lha ya gawat. Apa yang negatif terlalu kuat, karena seringnya yang ditiru yang negatif-negatif aja? Atau memang kita yang nyari enaknya sendiri aja? Harus dipikirkan lagi (mikir mulu, capek tapi harus, punya otak buat apa?)

Sedikit berbagi juga, pernah dengar dan masih jelas di kepala, kata-katanya kurang lebih seperti ini, "jangan liat siapa yang bicara tapi liatlah apa yang dibicarakan." Ada yang salah? kurang pas aja rasanya. Mending, menurutku, kayak gini, "jangan dilihat siapa yang bicara tapi dengarkan dan maknai apa yang dibicarakan," ya kalau yang dibicarakan dilihat kan nggak bisa juga (halah, nggak penting). Mungkin bagi yang pernah mengalami, yang masih trauma (cie), maaf kalau menggores luka lama, cuma bermaksud mengambil pelajaran saja. Ketika suatu tulisan, yang tentunya dikeluarkan setelah melalui proses yang mungkin nggak sebentar bahkan cukup rumit, dibahas dan kemudian "diserang" habis-habisan karena "terbacanya" tak tepat, maksud si penulis tidak tersampaikan dengan tepat ke pembaca atau mungkin juga sebaliknya pembacanya yang nggak bisa nangkap maksud si penulis dengan benar dan akhirnya pembahasan melebar kemana-mana bahkan keluar dari "hal pokok" yang seharusnya jadi fokus pembahasan. Sayang sekali memang, maksud yang mungkin baik (aku yakin maksudnya baik) malah jadinya menimbulkan hal-hal negatif, mengundang keluhan, makian, amarah dan ujung-ujungnya (lagi-lagi) memuji diri sendiri.

jangan sampek ntar jadinya kayak gini (dari google)

Kembali ke pokok masalah (berlagak penting, sekali-kali boleh dong) seringnya, yang kulihat sendiri, nggak tau yang lain, bukan lagi apa yang ditulis yang dibahas tapi pribadi penulis yang jadi "bahan gosip." Dibahas disana-sini, melebar dan semakin melebar, tentang siapa dia, siapa bapaknya, mana rumahnya, apa hobinya, sendalnya nomer berapa, pacarnya ada lima, giginya nggak rata, nggak penting. Bukankah semua sama-sama punya hak menulis, katanya hak asasi untuk bebas berekspresi, mengeluarkan ide dan pikiran? Jadi panjang, jadinya ikut ngomel juga kan (aku maksudnya), fokus pada masalah dan bersama-sama mencari penyelesaian untuk rumah yang lebih baik, masa depan yang lebih baik, Indonesia yang lebih baik.

Satu yang sering kita lupa juga kita langgar bahwa hak asasi setiap kita dibatasi oleh hak asasi orang lain juga. Kalau sama-sama mau mengerti dan mengamalkan tentunya lebih baik. Benar salah terlalu berat (buatku pribadi), nggak mau apa-apa yang dilakukan "seenaknya" dilabeli orang lain dengan, "kamu salah" atau bahkan "kamu benar." Semua butuh proses, semua sedang belajar. Mau ngeluh, ngomel, maki-maki, marah-marah, muji diri sendiri, monggo, hak masing-masing. Ini juga sudah ngomel, hakku juga kan? Akhirnya (menutup pidato, eh  omelan) mari sama-sama berdoa dan berbuat sesuatu untuk masa depan yang lebih baik, negeri yang lebih baik (yang nulis juga belum berbuat apa-apa, baru sebatas ngomel).

Salam berubah!

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun