Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reggae Didarahku

28 Juli 2016   22:40 Diperbarui: 28 Juli 2016   22:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi jangan kira aku ngga berbuat apa-apa
Aku berkarya dengan yang kubisa
Dan yang penting aku bahagia"
 

Mentari kian meninggikan badannya, ditemani secangkir kopi dengan alunan lagu dari Steven & Coconut Treez di album The Other Side aku membawa lamunanku kedelapan tahun yang lalu, saat dimana kepala di bawah kaki berjalan merangkak bahkan tersungkur dalam tawa dimalam sunyi. Sebagai sampah aku merasa bahagia menenggak minuman dengan nikmatnya musik reggae yang membuat pikiranku semakin melayang dan mimpiku terus kulambungkan. Hanya kebahagiaan yang ku oplos dengan suara tawa para kawan, hingga kami tersungkur lelah di sudut lapangan sepak bola.

Malam tak secepat itu datang karena bagi kami hari itu masih siang, aku masih mengingat wajah kawanku malam itu. Simon, Borang, dan Pepi, bagiku mereka adalah lilin saat tak ada lampu dimalam hari, adalah air saat aku haus disiang hari, adalah kertas saat aku ingin menulis suara hati. Kami menjalani hidup ini bukan tanpa alasan meskipun kami lelah untuk mencar-cari alasan saat pak Kades dan anak buahnya ingin memukuli kami dibeberapa malam sebelumnya. Hidupku tidak kacau, hanya saja hidupku ini tidak tertata rapi seperti harapan orangtuaku saat aku dilahirkan ke dunia ini.

Bapakku kawin lagi lima belas tahun lalu ketika aku masih duduk dibangku sekolah dasar. Emakku sakit-sakitan jadi terpaksa aku harus berhenti sekolah saat aku duduk dibangku kelas dua SMP. Tahun-tahun berikutnya kejadian yang sama juga dialami oleh Simon dan Borang, sedangkan Pepi, emaknya malah minggat setelah bapaknya kawin lagi, akhirnya Pepy tinggal bersama tantenya.

Setelah berhenti sekolah tak banyak yang bisa aku lakukan untuk membantu emak, aku hanya berjualan minuman ringan di perempatan jalan saat lampu merah sedang menyala. Membeli dan menjualnya kembali, hanya cukup untuk beli makan. Hingga akhirnya tiba hari dimana mataku bengkak dan sekujur tubuhku yang lebam penuh luka.

"Bima, Nak... Kamu kenapa?" Itulah terakhir kalinya aku melihat wajah ibuku dengan airmatanya yang mengucur. Hari itulah aku sadar, ibu akan lebih bahagia di tempat yang telah Tuhan pilihkan untuknya, sebuah kebahagiaan abadi yang tak seorang pun dapat menyentuh indahnya. Hingga kadang dipertengahan malam aku sering bertanya, "Ibu, apakah Ibu benar-benar telah bahagia?"

Semenjak saat itu aku merubah hidupku menjadi bajingan. Simon, Borang, dan Pepi, kami berempat mangkal di tempat sepi dibeberapa sudut jalan, kami tak pernah melukai satupun dari para korban kecuali jika mereka melawan dan kami tak ada pilihan. Sisa hidup kami habiskan dengan puluhan botol di setiap malam. Kami bukan orang bijak namun kami setia kawan, saat itulah Pepi tertangkap dan kami bertiga menyerahkan diri untuk bersama-sama hidup dikurungan besi. Meskipun nafas seakan diambang sekarat namun dengan bergandengan tangan kita mampu melanjutkan perjalanan. 

Dua tahun setelah kehidupan penjara membuat kulit kami sedikit lebih bersih tanpa botol bir akhirnya kami terbebas. Sejak saat itulah kami mulai menjadi manusia yang layak, berjaualan sayur di sebuah pasar yang jauh dari daerah asal kami, kami melakoninya untuk menutupi hitamnya nama kami dari mata masyarakat. Bersama ketiga sahabatku kami mendirikan rumah sederhana di tanah yang dulu kutempati dengan ibuku. 

Hingga lima tahun berlalu, kami berhasil membuka sebuah restoran bernuansa reggae, direstoran ini juga banyak gelandangan yang kami persilahkan untuk makan gratis karena kami tahu mencari sesuap nasi kadang harus terbayar dengan cucuran darah dan pukulan yang medarat diwajah.

Bagi kami berempat, mereka gelandangan bukan orang yang lemah. Merekalah orang yang kuat menahan kerasnya dunia saat pemuda lain berteriak "Gooolllll...!" di Piala Dunia, atau bahkan saat beberapa pemuda lain bermain "Gol" dengan caranya sendiri.

Satu hal yang tidak akan aku lupa, hari dimana tangis ibuku mengalir untuk yang terakhir kalinya, saat mataku bengkak dan tubuhku lebam penuh luka, saat itu aku bukanlah seorang bajingan. Tak sengaja siang itu aku menemukan dompet tetanggaku dipinggir masjid, masih ada KTP namun tak sepeserpun uang di dalamnya, aku masih sibuk memandangi KTP itu untukku kembalikan pada yang punya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun