Mohon tunggu...
rina okta
rina okta Mohon Tunggu... -

hmm... i'm just an ordinary one...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MATEMATIKA, CINTA, DAN BELANDA

2 Mei 2010   12:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Only a life for other is a life worthwhile – Albert Einstein

Hidup akan berharga jika bermanfaat untuk orang lain, begitu kira-kira yang bisa saya tangkap dari quote seorang Albert Einsten. Hmm agak lama saya merenunginya, lalu bertanya-tanya pada diri saya sudahkah sayabermanfaat untuk orang lain? Haha…tertawa dalam hati, bisa-bisanya saya berpikir demikian padahal saat itu sedang workshop education dengan 2 orang nederlandher, Jaap den Hertog dan Aad Godjin. Jangan salahkan saya, kalau bisa salahkan kedua orang itu yang membuat pemikiran ini muncul. (lho?) Haha…

***

IN THE BEGINNING

Pagi itu, hampir enam bulan lalu di tahun 2009, kelas kecil kami di salah satu universitas negeri di Surabaya kedatangan 2 tamu istimewa, dosen dari Fruedenthal Institute milik Utrecht University dgn membawa sesuatu untuk kami. Siapa coba yang tak bisa menahan perasaan senang akan bertemu 2 orang bule Belanda dengan sekotak oleh2 yang manis?? Hmm…kontan semua girang, deg-degan dengan hari yang dimaksud. Sekaligus susah, sebab tugas awal yang diberikan cukup ‘mematikan’, haha...jurnal-jurnal berbahasa asing yang cukup tebal yang harus dilahap sebelum keduanya masuk kelas. Satu kelemahan kami saat itu: menerjemahkan sekaligus memakmanai apa yang dimaksudkan jurnal tersebut dalam sebuah paper. Fiuuhh…

“Hello everybody!!” Katanya sambil muncul di depan pintu kelas kami. Keduanya lalu berkeliling menyalami satu-satu dari kami dengan genggaman erat dan tatapan ramah tepat di retina kami. Ketika itu saya merasakan efek yang luar biasa dari semangat Jaap dan Aad. Saya pikir hanya saya yang merasakannya, ternyata semua menyimpan perasaan yang sama. Satu poin yang kemudian saya rekam dalam benak saya: semangat itu menular.

Lalu sampailah keduanya membagi oleh-oleh pada kami. Mereka menyebutnya RME, Realistic Mathematics Education. Haha, saya pikir oleh-olehnya miniatur bangunan berkincir atau kelompen Belanda, ternyata…Tapi belakangan saya malah bersyukur, untung bukan barang-barang kecil yang bisa rusak bahkan hilang itu yang jadi oleh-olehnya, tapi sesuatu yang besar yang tidak akan lekang dan hilang dimakan jaman: ilmu.

MATEMATIKA DARI BELANDA

Semua mungkin sepakat kalau objek matematika adalah abstrak. Dan keabstrakan ini tetap ada pada matematika sekolah yang belakangan menjadi salah satu penyebab sulitnya seorang pendidik mengajar matematika.

Seorang guru matematika harus berusaha untuk mengurangi sifat keabstrakan dari objek matematika itu sehingga memudahkan siswa menangkap pelajaran matematika di sekolah. Dengan kata lain seorang guru harus mengusahakan agar fakta, konsep, operasi, ataupun prinsip dalam matematika itu terlihat konkret.

Salah satu solusi untuk mengonkretkan yang abstrak itu adalah dengan RME yang dikembangkan di Belanda sejak sekitar 35-40 tahun lalu, berdasarkan ide Hans Freudenthal (seorang ahli matematika Belanda). Ada satu hal yang menarik dari ide Bapak RME ini, dia menyatakan bahwa matematika adalah kegiatan manusia (human activity).

Saya memandang Freudenthal sangat cerdas dalam mengutarakan idenya tersebut, sebab untuk saya pribadi, secara tidak langsung bisa menyugesti diri bahwa apa yang dipelajari di matematika tidak lantas akan berakhir dalam teori saja, tapi bisa bermakna dan bermanfaat luas bagi semesta, secara kegiatan manusia gitu, sudah pasti luaslah. Hal itu yang belakangan bisa merubah paradigma khalayak umum tentang matematika: sudah susah, kegunaannya paling cuman buat ngitung rugi-laba.

Tidak bisa dipungkiri matematika itu susah, namun kita bisa membuatnya jadi lebih mudah. Salah satu prinsip RME: menggunakan konteks nyata/ real ternyata bisa dipercaya bisa membuat bayangan siswa tentang abstraknya matematika terbuka perlahan.

Suatu kali Jaap melayangkan pertanyaan yang saat itu saya dan juga teman2 banyak yang tidak tepat dalam menjawab: what is a realistic?


Ayu:something can be touched

Jaap:oke, just it?

Nur:something can be seen

Jaap:hmm…just it? Anything else?

Bla…bla…kami mencoba ini dan itu, tapi akhirnya Jaap sendiri yang menjelaskan jawaban tepatnya. Sesuatu dikatakan realistik ketika ia bisa dibayangkan oleh pikiran kita, tak jadi masalah ada barangnya atau tidak, terlihat atau tidak. Selama kita bisa membayangkannya, itu poinnya.

CINTA DARI BELANDA

Banyak makna-makna implisit dari karakteristik RME Belanda ini, yang jujur, buat saya, guna banget. Ga hanya buat orang yang nantinya menjalani profesi sebagai guru, tapi juga buat seluruh manusia: mendidik dengan hati.

Poin penting itu juga yang belakangan saya sadari sebagai jawaban kenapa gaya mengajar Jaap dan Aad berbeda dengan pengajar kebanyakan di Indonesia. Sebab mereka menjalani praktek memanusiakan manusia, mendidik siswa dngan sikap terbuka, mengajak berkomunikasi dengan cara yang komunikatif atau dengan bahasa yang mudah dimengerti, ga perlu ribet –sederhana- tapi dalem, dan yang ga ketinggalan juga yaitu memperhatikan perasaan siswanya.

Saya jadi teringat kata-kata seorang professor yang juga terlibat dalam pengembangan RME di Indonesia mengenai cara mendidik siswa, begini katanya:


“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia belajar menemukan cinta dalam kehidupannya.”

(Beliau pun mengutipnya dari sebuah quote Anonym)

MATEMATIKA, CINTA, DAN BELANDA

Itulah kenapa saya berpikir mengenai quote-nya mbah Albert. Jaap dan Aad adalah dalang utama kenapa pertanyaan itu bisa muncul dalam benak saya. Ya, mereka pelakunya. Tanpa mereka sadari, tanpa keduanya mengatakan secara langsung, namun bahasa tubuh, tatapan mata ketika berbicara, bahasa yang dituturkan, semuanya menggiring saya ke arah itu. Karakteristik pendidik Belanda dengan RME-nya yang membuat saya terus menabur benih mimpi bisa menginjakkan kaki di Freudenthal Institute.

Banyak keindahan yang mungkin ingin orang lihat, termasuk saya di Negeri Van Oranye, yang bukan hanya tempat Jaap dan Aad lahir dan besar tapi negeri dimana keluwesan bertutur serta gaya mengajar yang keren itu dibentuk. Dari sikap keduanya itu saya belajar, bercermin, betapa seharusnya orang mendidik dengan hatinya, penuh cinta dan sayang, tidak perlu yang mewah cukup yang sederhana saja, memperhatikan kemudian memberikan tanggapan.

Saya pernah berpikir juga, jika pemikiran RME dari Belanda itu mampu membentuk jiwa-jiwa lembut tanpa menghilangkan esensi berjuang macam Jaap dan Aad, maka Belanda bisa jadi memang pilihan tepat untuk menggali potensi tersebut, sebelum akhirnya orang-orang yang berkesempatan belajar disana kembali ke ibu pertiwi tercinta ini lalu berjuang seperti Jaap dan Aad mencerdaskan anak-anak negeri.

Bisa berguru hingga ke negeri 1000 kincir mungkin memang anugerah, namun menjadi salah satu pihak yang dapat membantu orang-orang (dalam hal ini anak-anak didik di Indonesia) memahami matematika dengan sepenuh hati itu lebih dari sekedar anugerah.

Meneruskan sekolah hingga ke Belanda bukan hanya sebait senandung ingin, bukan pula menyoal pembuktian diri yang kalau tidak disetir malah menimbulkan keangkuhan. Tapi lebih cenderung pada sebuah kata ‘mau’. Mau berkompetisi sportif, mau bersusah-susah raga dan pikir demi menggamit sukses hingga akhir semester, mau berikhlas diri ketika waktu ‘memaksa’ untuk pulang ke negeri halaman dan memuarakannya pada makhluk bernama pengabdian. Maukah??

Aahh…saya jadi merindukan Jaap dan Aad. Dua manusia didikan barat (Belanda –red) yang justru lebih timur dalam hal mendidik manusia.

***

Untuk anak bangsa yang sedang belajar Matematika dengan penuh Cinta dan bermimpi menuntut ilmu hingga ke Belanda...

ps. tulisan ini diikutsertakan pada kompetiblog 2010 studi di Belanda

kunjungi pula rumah hati saya:

http://duniarinaokta.blogspot.com/2010/04/matematika-cinta-dan-belanda.html

http://mysouldeclaration.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun