Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Owner Kedai Kapitol

Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menemukenali Kaum Serakahnomics Dalam "Hastinapura" MBG

7 Oktober 2025   08:58 Diperbarui: 7 Oktober 2025   09:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Photo: Seseorang sedang menikmati makanannya. (Sumber: Pribadi)

Pada suatu malam, grup chat WhasApp kami dikirimi satu halaman yang berasal dari buku Paradoks Indonesia. Seorang kawan menuliskan, jika Prabowo Subianto selaku penulis buku tersebut, mengibaratkan keserakahan yang sedang terjadi dimana-mana dalam sistem ekonomi bangsa, ibarat sifat Kurawa yang serakah. Bahkan pada halaman yang diphoto kawan tersebut, saya membacanya berulang-ulang, Apakah cita-cita demokrasi ini akan dihijack, akan disandera oleh para Kurawa? Sebuah pertanyaan yang patut ditulis dengan huruf tebal, karena didalamnya ada rasa khawatir yang mendalam tentang nasib cita-cita demokrasi yang banyak diidam-idamkan semua orang, guna menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Perdiskusian itu pun mengalir tentang kontroversi epos Mahabharata tentang bagaimana dharma dapat mengalahkan adharma dalam tragedi Kurusetra, diikuti kemudian kedatangan Kaliyuga. Semuanya hampir tahu, bahwa dalam cerita umum yang berkembang, Dharma diwakili oleh Pandawa dan Adharma diwakili oleh Kurawa.

Paradoks Indonesia yang diluncurkan Prabowo Subianto sebelum menjabat sebagai Presiden Indonesia agaknya tidak mempersoalkan perdebatan kebenaran antara Pandawa dan Kurawa. Toh perdebatan epos ini berujung kepada, masing-masing kelompok memiliki kebenarannya sendiri. Namun, dalam beberapa tafsiran kisah ini, keserakahan yang ditunjukkan oleh Duryodana sebagai anak sulung dari adiknya yang berjumlah 99 kurawa, tidaklah berdiri sendiri. Layaknya manusia yang memiliki rasa dendam akan keadaan, telinga dan hatinya diasah-masyuk saban hari oleh seorang paman yang memiliki ambisi besar akan kekuasaan. Di sisi lain, ada pula diamnya orang-orang baik yang memiliki kemampuan serta integritas, sehingga perang Kurusetra terjadi. Seperti halnya Bhisma seorang lolayis yang teguh memegang janji, Dorna yang menyokong Kurawa karena hutang budi, Karna dapat dikatakan sebagai orang yang pada masa sulitnya diterima oleh Duryodana, dan Salya yang terikat akan sumpah kesatria. 

Pertanyaanya adalah, mengapa Prabowo menghubungkan keserakahan dengan Kurawa? Toh pada nyatanya, Duryodana tidak melulu jahat, bahkan pada sebuah desa bernama  Poruvazhy di negara bagian Kerala India, dipuja banyak orang sebagai Dewa. Artinya, ada kebaikan Duryodana yang mungkin saja tidak dimiliki oleh Pandawa.

Tulisan ini tidak dalam konteks membedah epos agung tersebut. Akan tetapi, apa bentuk keserakahan Kurawa yang dapat mengancam cita-cita demokrasi guna menuju Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur? Coba kita lihat dalam konteks pelaksanaan proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikomandoi oleh Badan Gizi Nasional.

Jika program MBG layak disebut sebagai Hastinapura yang diperebutkan penguasaannya, maka Kurawa bagi saya jika hendak ditafsirkan dalam konteks cerita ini dengan mengorelasikannya kepada sifat keserakahan, sepertinya label tersebut layak diberikan kepada kaum oligark klik politisi yang hendak mengambil penuh pengelolaan MBG dengan kerangka "agen". Mereka memiliki begitu banyak yayasan, sehingga dengan upaya lobi, modal, dan kekuasaan politiknya, dapat menentukan titik-titik dapur MBG, lalu "menjualnya" dengan pola kerjasama pengelola dapur. Mereka mengajak pemilik modal kecil sebagai "tumbal" proyek ini. Ibarat kata, kaum serakahnomics ini merasa ada dengan hak menguasai MBG. 

Di sisi Pandawa, ada pelaku UMKM yang juga tidak melulu lurus terhadap panduan program yang telah diberikan. Bagi kurawa pemilik yayasan, hanya dengan memberikan koneksi UMKM kepada yayasan mereka, menurut cerita beberapa pengelola dapur MBG, sewa usaha yang semestinya dapat mereka kelola maksimal, sekitar 500 Rupiah bahkan ada yang anga mencapai 2.000 Rupiah diberikan ke pemilik yayasan dengan dalih sewa usaha. Padahal, beberapa yayasan yang serakah tadi, sama sekali tidak mengeluarkan modal dalam pembangunan dapur dimaksud. Ya ceritanya, mereka hanya memiliki yayasan, koneksi, dan mampu lobi-lobi.

Pandawa UMKM yang mestinya mengelola dapur MBG secara maksimal tanpa memotong anggaran bahan baku dan operasional, mau tidak mau melakukan cara licik dengan "mengorupsi" anggaran bahan baku dan mengambil selisih dana operasional. Karena pada nyatanya, dana sewa usaha telah diberikan kepada kurawa pemilik yayasan. Bayangkan saja, bagaimana mungkin sebuah yayasan yang baru, meisalnya, mampu membangun 5 titik dapur yang biaya pembangunan serta pemenuhan peralatannya mencapai harga 1,5 milyar Rupiah? Jika tidak menggandeng pemilik modal kecil (di bawah 3 milyar Rupiah), tidak mungkin rasanya mereka membangun hal tersebut. Pada kenyataannya, dana sewa usaha bukan mengalir ke para pandawa UMKM yang dengan wajah polos sedikit ambisi, melainkan kepada kurawa pemilik yayasan. Walaupun demikian, tokoh-tokoh seperti Bhisma, Dorna, Karna, dan Salya tetap saja mendukung para kurawa, bahkan minim koreksi. Jika terjadi kasus keracunan, maka pengelola dapurlah yang menjadi sasaran. Setelah pengelola dapur tumbang, saya yakin para kurawa yayasan tadi akan mengambil alih dapur dengan cara membelinya. Tentu sistem pembayaran dan pembiayaan yang mengiringi sudah berlahan-lahan membaik. 

Ini mungkin yang dimaksud dengan kaum serakahnomics yang meng-hijack cita-cita demokrasi.   Hijack dapat diartikan sebagai upaya pengambil-alihan, pembajakan, atau mencuri sesuatu milik orang lain; secara fisik maupun siber. 

Dalam sebuah diskusi bersama seorang kawan, dikatakannya bahwa dari dana 15.000 Rupiah per porsi, dia memberikan uang sewa usaha kepada pemilik yayasan, 3.000 Rupiah untuk dana operasional, dan 10.000 untuk pengadaan bahan baku. Lalu, labanya darimana? untuk memulangkan modal yang sudah dikeluarkan guna membangun dapur dan perlengkapan di dalamnya, maka mereka mesti "mengorupsi" bahan baku yang semestinya 10.000 Rupiah. Dari sana laba didapat. 

Sebenarnya, dalam kasus ini, baik Kurawa, Pandawa, serta orang-orang bijak yang netral dapat dianggap sebagai pembajak cita-cita demokrasi. Sadar atau tidak, jika persoalan ini tidak diselesaikan, perang kurusetra akan terjadi. Hastinapura (MBG) akan hancur lebur serta banyak kurawa yang berguguran. Bagaimana mungkin, seorang atau sekelompok yang hanya memiliki yayasan dapat mengambil secara tidak sah dana sewa usaha yang semestinya menjadi hak pengelola dapur. Jika pun yayasan hendak mendapatkan laba dari Hastinapura ini, mestinya mereka membangun dapur sendiri dan berbisnis atau 25% maksimal modal mereka ditanamkan, layaknya meletakkan modal ke dalam sebuah Perseroan Terbatas dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun