Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Owner Kedai Kapitol

Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Krisis F&B Singapura: Alarm Keras Bagi Pebisnis Kuliner Indonesia

6 Oktober 2025   18:12 Diperbarui: 6 Oktober 2025   18:12 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Photo: Kedai Kapitol Pekanbaru, Riau, Indonesia. (sumber: Facebook Kedai Kapitol)

Singapura dikenal dunia sebagai negeri yang bersih, modern, dan efisien. Tetapi di balik gemerlap lampu Marina Bay dan hiruk pikuk Orchard Road, sedang berlangsung krisis senyap yang menggetarkan fondasi ekonomi kreatif Asia Tenggara: industri makanan dan minuman atau yang dikenal dengan istilah F&B (Food and Beverage) sedang ambruk satu per satu.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, lebih dari tiga ribu usaha kuliner di Singapura tutup, dari warung kopi kecil hingga restoran berbintang Michelin. Rata-rata dua ratus lima puluh hingga tiga ratus kedai berhenti beroperasi setiap bulan. Di kota sekecil itu, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan lonceng kematian bagi ribuan pekerja, pemasok, dan pengusaha kecil yang selama ini menjadi urat nadi gaya hidup urban Singapura.

Bagi Indonesia, krisis ini seharusnya menjadi peringatan dini. Apa yang terjadi di Singapura bisa menjadi cermin masa depan, terutama bagi pebisnis kuliner yang hari ini masih merasa aman karena kedainya ramai dan omzetnya stabil. Di era ekonomi yang penuh ketidakpastian, ramai belum tentu berarti untung, dan terkenal belum tentu berarti selamat.

Awal Mula Krisis: Dari Pandemi ke Lonjakan Biaya

Krisis F&B Singapura bermula dari badai panjang bernama pandemi COVID-19. Ketika pemerintah memberlakukan circuit breaker - versi lockdown mereka - ribuan restoran kehilangan pelanggan dalam semalam. Bisnis yang sebelumnya bergantung pada layanan makan di tempat terpaksa beradaptasi secara mendadak dengan model takeaway dan delivery. Sebagian berhasil bertahan, tetapi sebagian besar lainnya mulai kehabisan napas.

Setelah pembatasan dilonggarkan, ada euforia singkat yang disebut media sebagai revenge dining. Orang-orang kembali memenuhi restoran, mencoba menebus waktu yang hilang. Namun antusiasme itu tidak berlangsung lama. Dalam hitungan bulan, konsumen mulai menahan diri lagi. Mereka sadar bahwa harga makanan naik, listrik naik, dan upah pekerja pun meningkat. Makan di luar rumah tidak lagi terasa ringan bagi banyak keluarga.

Biaya operasional di Singapura melonjak tajam. Sewa tempat di pusat kota terus naik, sementara tagihan listrik meningkat seiring kebijakan energi yang makin ketat. Bahan baku impor juga menjadi lebih mahal akibat inflasi global dan pelemahan mata uang. Dalam laporan Reuters April 2025 disebutkan, sekitar 80% pelaku F&B di Singapura beroperasi dengan margin keuntungan di bawah 7%, dan sebagian bahkan rugi.

Artinya, dalam setiap piring makanan yang dijual, hanya sedikit uang yang benar-benar menjadi laba bersih. Selebihnya habis untuk membayar sewa, gaji, listrik, dan bahan baku. Inilah lingkaran setan yang membuat banyak bisnis besar pun akhirnya menyerah.

Krisis ini tidak mengenal kasta. Restoran mewah dan warung sederhana sama-sama terdampak. Pada September 2025, Prive Group, salah satu jaringan restoran paling populer di Singapura, mengumumkan penutupan seluruh outletnya. Dalam pernyataannya kepada Channel News Asia, manajemen Prive menyebut bahwa "biaya operasional yang meningkat dan kondisi pasar yang sulit membuat bisnis tidak lagi berkelanjutan."

Tak lama setelah itu, Gong Cha, jaringan minuman bubble tea internasional, juga menutup semua gerainya di Singapura. Meski berencana melakukan relaunch tahun 2026, penutupan total ini mengguncang publik karena merek tersebut selama ini dianggap ikon budaya minum teh di Asia.

Yang lebih mengejutkan, krisis ini bahkan menjalar ke restoran berbintang Michelin. Art di Daniele Sperindio, Braci, Alma by Juan Amador, dan sejumlah restoran fine dining ternama lain juga gulung tikar. Bahkan The Straits Times menulis headline yang getir: "Bintang Michelin tak mampu menyelamatkan dapur dari kenyataan ekonomi."

Bagi banyak pengamat, fenomena ini menjadi bukti bahwa reputasi dan penghargaan tidak menjamin kelangsungan bisnis jika dasar keuangannya rapuh. Restoran bisa indah, makanannya lezat, layanannya luar biasa, tetapi jika biaya melebihi pendapatan, semuanya hanya menunggu waktu untuk runtuh.

Pelajaran Pahit: Bukan Soal Rasa, Tapi Manajemen

Dari luar, F&B sering terlihat seperti bisnis gaya hidup: kopi yang wangi, interior estetis, dan musik yang nyaman. Namun kenyataannya, F&B adalah salah satu sektor dengan margin terendah dan tingkat kegagalan tertinggi. Di Singapura, kejatuhan besar-besaran ini membuka mata banyak orang bahwa kelezatan rasa tidak cukup untuk menandingi kekuatan ekonomi yang keras dan rasional.

Kesalahan paling umum yang dilakukan pelaku usaha adalah tidak memahami anatomi biaya. Banyak yang berpikir bahwa selama kedai ramai, bisnis akan aman. Padahal, tanpa menghitung food cost, labour cost, dan overhead cost dengan disiplin, keuntungan hanya ilusi.

Kasus Singapura menunjukkan bahwa ketika biaya sewa, listrik, dan tenaga kerja naik secara simultan, hanya bisnis dengan efisiensi tinggi yang bisa bertahan. Mereka yang tidak punya pencatatan keuangan terstruktur akan tenggelam pelan-pelan tanpa sadar.

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih relatif stabil. Inflasi nasional berkisar di angka 2--3 persen per tahun, jauh di bawah tingkat tekanan harga di Singapura. Namun tanda-tanda awal tekanan biaya sudah terlihat: upah minimum naik setiap tahun, tarif listrik menyesuaikan secara berkala, dan harga bahan pokok cenderung fluktuatif.

Di Riau misalnya, UMP 2025 naik sekitar 6,5 persen. Untuk pelaku kuliner, artinya beban tenaga kerja akan meningkat sementara harga jual tidak selalu bisa dinaikkan dengan proporsional. Jika tidak ada efisiensi di sisi operasional, margin akan tergerus sedikit demi sedikit.

Selain itu, perubahan perilaku konsumen juga harus diperhatikan. Masyarakat urban di Indonesia kini semakin selektif dalam membelanjakan uangnya. Mereka tidak sekadar mencari rasa, tapi juga pengalaman dan nilai sosial. Di sinilah pebisnis kuliner harus menata ulang strategi: menjual cita rasa yang kuat sekaligus menghadirkan kedekatan emosional dengan pelanggan.

Strategi Bertahan: Kecil, Fleksibel, dan Relevan

Pelajaran terbesar dari Singapura adalah pentingnya fleksibilitas. Banyak bisnis di sana tumbang karena struktur mereka terlalu kaku. Model bisnis yang hanya mengandalkan makan di tempat tidak bisa bertahan ketika konsumen mengubah kebiasaan.

Bagi pebisnis kuliner di Indonesia, kuncinya adalah diversifikasi. Jangan hanya bergantung pada satu saluran pendapatan. Kembangkan layanan takeaway, pre-order, atau paket kantor yang bisa dipesan lewat WhatsApp dan diambil sore hari. Gunakan media sosial bukan hanya untuk promosi, tapi juga untuk menjaga kedekatan dengan komunitas pelanggan.

Kedai kecil yang beradaptasi dengan cepat seringkali jauh lebih tangguh dibanding restoran besar yang boros biaya. Warung kopi di sudut kota yang akrab dengan pelanggan tetap bisa lebih stabil daripada kafe bergaya industrial di mal mewah yang sewa tempatnya selangit. Krisis F&B di Singapura membuktikan satu hal penting: skala besar bukan jaminan, tapi efisiensi adalah penyelamat sejati.

Efisiensi di sini bukan berarti sekadar menghemat, melainkan menata ulang cara kerja agar setiap rupiah menghasilkan nilai. Pebisnis kuliner Indonesia perlu memahami konsep menu engineering: memetakan setiap menu berdasarkan dua faktor, tingkat popularitas dan kontribusi keuntungan.

Menu yang laku keras tetapi margin-nya kecil harus dievaluasi ulang. Mungkin porsinya bisa disesuaikan, atau bahan bakunya diganti dengan alternatif yang lebih ekonomis tanpa mengorbankan rasa. Sebaliknya, menu yang jarang dipesan tapi menghasilkan margin besar perlu dipromosikan dengan lebih kreatif.

Langkah sederhana seperti menimbang bahan baku, mengatur jam operasional sesuai pola kunjungan, dan mengelola stok harian bisa menekan biaya signifikan. Dalam bisnis F&B, efisiensi kecil yang konsisten lebih berarti daripada inovasi besar yang mahal.

Hubungan Manusia dan Daya Tahan Bisnis

Krisis F&B Singapura juga memperlihatkan bahwa hubungan manusia masih menjadi inti dari bisnis kuliner. Banyak restoran besar di sana kehilangan pelanggan bukan karena rasa atau layanan menurun, tetapi karena kehilangan jiwa. Mereka menjadi terlalu mekanis, terlalu berjarak, terlalu fokus pada target finansial hingga melupakan hubungan emosional dengan pelanggan.

Di Indonesia, justru aspek ini menjadi kekuatan alami. Warung sederhana yang menyapa pelanggan dengan senyum tulus seringkali memiliki loyalitas pelanggan lebih tinggi daripada restoran berkonsep internasional. Nilai-nilai seperti keramahan, kehangatan, dan rasa kebersamaan tidak bisa diukur dengan angka, tetapi menjadi modal sosial yang sangat besar untuk bertahan dalam situasi sulit.

Membangun bisnis kuliner yang tahan krisis berarti juga membangun hubungan yang manusiawi. Di saat ekonomi menurun, pelanggan cenderung kembali ke tempat yang memberi rasa nyaman dan akrab. Itulah sebabnya banyak usaha kecil tetap bertahan bahkan ketika pesaing modern tumbang.

Krisis F&B di Singapura bukan sekadar kisah kegagalan, melainkan studi kasus global tentang bagaimana ekonomi modern bisa menelan bisnis yang tidak siap menghadapi realitas biaya dan perubahan perilaku konsumen.

Bagi Indonesia, ini adalah alarm keras untuk segera memperkuat sektor kuliner nasional sebelum badai yang sama datang. Pengusaha kuliner harus belajar menghitung dengan jujur, menata strategi dengan realistis, dan menjaga hubungan dengan pelanggan secara tulus. Makanan yang enak bisa menarik orang datang sekali, tapi manajemen yang disiplin dan relasi yang hangatlah yang membuat mereka kembali berkali-kali.

Singapura mungkin sedang berjuang untuk mempertahankan "rasa" ekonominya. Indonesia punya kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, asalkan mau belajar hari ini, sebelum nasi benar-benar menjadi bubur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun