Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Owner Kedai Kapitol

Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Krisis F&B Singapura: Alarm Keras Bagi Pebisnis Kuliner Indonesia

6 Oktober 2025   18:12 Diperbarui: 6 Oktober 2025   18:12 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Photo: Kedai Kapitol Pekanbaru, Riau, Indonesia. (sumber: Facebook Kedai Kapitol)

Bagi banyak pengamat, fenomena ini menjadi bukti bahwa reputasi dan penghargaan tidak menjamin kelangsungan bisnis jika dasar keuangannya rapuh. Restoran bisa indah, makanannya lezat, layanannya luar biasa, tetapi jika biaya melebihi pendapatan, semuanya hanya menunggu waktu untuk runtuh.

Keterangan Photo: Kedai Kapitol Pekanbaru, Riau, Indonesia. (sumber: Facebook Kedai Kapitol)
Keterangan Photo: Kedai Kapitol Pekanbaru, Riau, Indonesia. (sumber: Facebook Kedai Kapitol)

Pelajaran Pahit: Bukan Soal Rasa, Tapi Manajemen

Dari luar, F&B sering terlihat seperti bisnis gaya hidup: kopi yang wangi, interior estetis, dan musik yang nyaman. Namun kenyataannya, F&B adalah salah satu sektor dengan margin terendah dan tingkat kegagalan tertinggi. Di Singapura, kejatuhan besar-besaran ini membuka mata banyak orang bahwa kelezatan rasa tidak cukup untuk menandingi kekuatan ekonomi yang keras dan rasional.

Kesalahan paling umum yang dilakukan pelaku usaha adalah tidak memahami anatomi biaya. Banyak yang berpikir bahwa selama kedai ramai, bisnis akan aman. Padahal, tanpa menghitung food cost, labour cost, dan overhead cost dengan disiplin, keuntungan hanya ilusi.

Kasus Singapura menunjukkan bahwa ketika biaya sewa, listrik, dan tenaga kerja naik secara simultan, hanya bisnis dengan efisiensi tinggi yang bisa bertahan. Mereka yang tidak punya pencatatan keuangan terstruktur akan tenggelam pelan-pelan tanpa sadar.

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih relatif stabil. Inflasi nasional berkisar di angka 2--3 persen per tahun, jauh di bawah tingkat tekanan harga di Singapura. Namun tanda-tanda awal tekanan biaya sudah terlihat: upah minimum naik setiap tahun, tarif listrik menyesuaikan secara berkala, dan harga bahan pokok cenderung fluktuatif.

Di Riau misalnya, UMP 2025 naik sekitar 6,5 persen. Untuk pelaku kuliner, artinya beban tenaga kerja akan meningkat sementara harga jual tidak selalu bisa dinaikkan dengan proporsional. Jika tidak ada efisiensi di sisi operasional, margin akan tergerus sedikit demi sedikit.

Selain itu, perubahan perilaku konsumen juga harus diperhatikan. Masyarakat urban di Indonesia kini semakin selektif dalam membelanjakan uangnya. Mereka tidak sekadar mencari rasa, tapi juga pengalaman dan nilai sosial. Di sinilah pebisnis kuliner harus menata ulang strategi: menjual cita rasa yang kuat sekaligus menghadirkan kedekatan emosional dengan pelanggan.

Strategi Bertahan: Kecil, Fleksibel, dan Relevan

Pelajaran terbesar dari Singapura adalah pentingnya fleksibilitas. Banyak bisnis di sana tumbang karena struktur mereka terlalu kaku. Model bisnis yang hanya mengandalkan makan di tempat tidak bisa bertahan ketika konsumen mengubah kebiasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun