Mohon tunggu...
Rina Bintang
Rina Bintang Mohon Tunggu... Lainnya - There's always something

Karyawati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Cake Cokelat Virtual

14 Juni 2023   19:30 Diperbarui: 14 Juni 2023   19:31 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : www.pixabay.com

“Lebih baik aku menyerah. Biarkan aku kalah, jika memang itu membuat aku tak kesakitan lagi”, pikirku. Diagnosa kelainan jantung, gangguan fungsi hati, saraf tangan dan pencernaan membuatku tak ingin melanjutkan hidup. Mengapa semuanya baru terdiagnosis saat ini sekaligus? Di saat aku mengalami gangguan mental akibat berkali-kali ditipu, disakiti dan dicampakkan oleh orang yang kucintai. 

Aku sudah memaafkannya berkali-kali, merelakan apa yang telah hilang agar dapat hidup dengan tenang. Memang memaafkan itu untuk kebaikan diri sendiri, namun memaafkan tidak dapat menghilangkan akibat dari tindakan yang telah dilakukan. Aku harus menanggung hutang besar karenanya dan berjuang untuk bekerja dengan menahan semua rasa sakit yang kuderita. Tidak hanya sakit secara fisik, tetapi rasa sakit karena harus terus melawan intimidasi dan trauma yang terus menerus muncul di kepalaku. Rasa sakit akibat terus berpura-pura terlihat baik-baik saja, karena aku tidak ingin orang lain tahu. Khawatir berlebihan, atau malah menyalahkan itulah yang orang lain lakukan ketika mereka mengetahui permasalahanku.

Malam itu, di hari ulang tahunku dadaku terasa sangat sesak, tangan kananku sangat nyeri dan mulai mati rasa. Aku sengaja tidak meminum obat pereda nyeri yang diberikan, karena aku merasa percuma. Aku tiba-tiba teringat dengan dua sahabatku di masa kuliah. Masa di saat kami menghabiskan sepanjang waku bersama. Sekarang kami tinggal ditempat yang berjauhan dan telah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku mengirimkan pesan, seolah berpamitan jika memang kita tidak akan bertemu lagi. Beberapa waktu kemudian mereka mulai melakukan panggilan video untuk menghibur dan mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Di akhir percakapan masing-masing mereka memperlihatkan sepotong cake cokelat dengan sebuah lilin di atasnya dan menyuruhku meniupnya. Cake kesukaanku. Tak bisa berkata apapun, aku mulai meneteskan air mata. Sebelum mengakhiri panggilan seseorang berkata, “Aku percaya kamu sudah berjuang sangat keras selama ini. Jangan lupa bilang : Terimakasih diriku, karena kamu aku kuat hingga detik ini”. Aku hanya sanggup memberi anggukan lemah serta membuat simbol hati menggunakan jari sebelum akhirnya menutup panggilan.

Memang aku tidak dapat mengecap secara langsung tekstur lembut, aroma wangi dan rasa manis dari cake cokelat itu. Itu hanyalah sepotong cake cokelat yang disajikan secara virtual. Cake cokelat virtual yang sangat berkesan dan melekat di ingatanku. Berhari-hari aku memikirkan kejadian itu. Rasanya seperti mimpi. Aku mulai sadar aku lupa berterimakasih untuk diriku sendiri. Jika aku bukanlah orang yang peduli, maka aku tidak dapat berdiri saat ini. Aku peduli pada orang-orang yang aku percaya mendukungku sekalipun tak ada di dekatku secara fisik. Aku harus kuat, karena aku harus menyelesaikan hutang dan melindungi keluargaku. Aku harus bertahan, karena aku peduli pada orang lain agar tidak ada yang mengalami kejadian buruk sama sepertiku.

Ketika aku lelah karena pekerjaanku, lemah karena penyakitku, dan tertekan saat trauma terus menerus muncul aku tahu apa yang harus aku cari. Sepotong cake cokelat. Cake cokelat yang akan membuatku kuat dan mengingatkanku akan kepedulian. Aku ada hingga saat ini, karena aku peduli. Peduli pada diriku sendiri dan orang sekitarku.#Motivasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun