Mohon tunggu...
Rina Wibowo
Rina Wibowo Mohon Tunggu... -

Ekonomi Pembangunan, Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

30 November

22 Oktober 2018   14:39 Diperbarui: 22 Oktober 2018   14:45 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

at: Akalpa Cafe
“Senja tak pernah salah. Hanya kenangan yang kadang membuatnya basah. Dan pada senja, akhirnya kita mengaku kalah.”
― nom de plume 

Malam minggu. Sesekali, aku ingin turun. Menjadi bagian dari lalu lalang ramainya jalanan kota oleh muda-mudi itu. Petrikor kotaku masih sangat khas tercium oleh dua lubang hidung yang sedari kemarin malam kurang dapat melaksanakan fungsinya. Cuaca memang sedang tak baik, selabil perasaanku sendiri.

Aku dan salah satu temanku sepakat memutuskan untuk berhenti, di satu kedai kopi di pinggiran kota. Aku mencari yang tak ada. Bodohnya, masih berpikir barangkali mereka menawarkan rindu.  Padahal sudah jelas, jiwa-jiwa itu penikmat pait tanpa embel-embel menye-menye soal hal yang berbau-bau cinta.

Melalui genangan sisa hujan tadi sore, aku melihat mereka satu persatu. Lamunanku mulai dalam masuk seiring derap kaki mereka melangkah mencari tempat duduk. Perlahan, ingatanku berpetualang pada kita yang dulu pernah sama-sama bersembunyi dalam merahnya rasa. 

Menjadi bagian dalam malam panjang yang kerap kita lewati berdua. Sesekali, kita melangkah berjalan mendekati malam yang kian larut dan membiarkan dingin itu menembus pori-pori kulit.

Lamunanku tersadarkan oleh suara pelayan perempuan di bagian belakang kedai. Mereka---dia dan teman lelakinya yang sama-sama seorang pelayan---baru saja selesai meracik sebuah pesanan. Dari sudut ruang, aku bisa melihat mereka tertawa. 

Mereka jatuh cinta, mereka malu-malu dan memilih untuk bersembunyi pada profesionalitas kerja. Itu yang kutangkap. Hingga sepersekian detik kemudian, mereka tenggelam pada kesibukan masing-masing.

Aku dan tempat ini masih begitu asing. Diam-diam, sesekali otakku memutar wajahmu. Barangkali, kegemaranmu dengan kopi mampu membunuh asingku pada tempat ini. Sialnya, aku tak bisa. 

Tak pernah lebih dari sekedar mengingat, aku tak berani. Rinduku itu mudah goyah. Pada sepasang matamu yang sekedar dalam ingatan saja ia bisa diam-diam tumpah. Menyebalkan.

Bayangan lampu temaram meja kedai nomor sembilan, membuatku mampu menangkap dua pasang mata yang merekam momen indah pada korneanya. Sampai harus kuingat, bahwa seindah-indahnya cerita kita, kita adalah kacau. Masih sangat harus untuk memperbaiki satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun