Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sepotong Kisah dari Borneo

17 April 2022   21:08 Diperbarui: 17 April 2022   21:15 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpose bersama senior di depan Tugu Khatulistiwa (Koleksi pribadi)

Hanum Salsabila Rais mempunyai kisah "99 Cahaya di Langit Eropa". Bolehlah aku mengaku memiliki cerita "99 Cahaya di Langit Borneo". Serupa tapi tak sama.

Pertama kali seumur hidup aku menjadi minoritas. Terbiasa menjadi mayoritas membuat aku awalnya begitu shock. Hanum menjadi minoritas di negeri orang. Sedangkan aku merasa terasing di negeriku sendiri.

Pilihanku ada dua. Pulang kembali sebagai pecundang. Atau maju terus dan beradaptasi dengan perubahan. Inilah konsekuensi aku berani keluar dari zona nyaman dengan merantau ke pulau seberang. Dari pulau terpadat penduduknya ke pulau terbesar kedua di Indonesia, Kalimantan. 

Mess perkebunan itu rasanya menjadi cermin Bhinneka Tunggal Ika versi kecil. Di antaranya ada suku Sunda, Jawa, Batak, Sasak, Melayu, Toraja hingga China. Begitu pula ada penganut Islam, Kristen, dan Katolik. Sebagai mayoritas adalah Dayak Katolik. 

Jumlah karyawan perempuan hanya ada empat orang. Tak sampai sepertiga dari jumlah keseluruhan pegawai. Kami tinggal sekamar. Berbeda suku dan keyakinan. Awalnya, aku tak nyaman dan tak betah. Namun, aku memilih yang kedua beradaptasi. 

Hal yang aku lakukan adalah membuang jauh-jauh fanatisme berlebihan. Walaupun aku satu-satunya yang berjilbab tapi aku tetap membaur dengan mereka. Profesional dalam bekerja dan tetap saling tenggang rasa dalam pergaulan.

Kemudian, aku menghormati keyakinan mereka masing-masing. Karena semua agama benar di mata pemeluknya. Begitu pula terhadap asal daerah, aku tak pilih-pilih dalam berteman. Karena, kita tak bisa memilih dimana kita akan dilahirkan.

Saat ini rasanya toleransi digembar-gemborkan seolah kami tak saling rukun antaragama. Nyatanya, toleransi sudah kami tunjukkan, jalankan, sejak dulu tanpa disuruh tanpa diatur. Namun, murni dari hati nurani.

Teman sekamarku, seniorku, ibarat kakak perempuan bagiku, ia kesulitan ibadah setiap minggu pagi ke gereja. Jarak yang tak dekat membuat ia sungkan berjalan kaki. Sementara ia tak bisa naik sepeda motor. Tak ada layanan ojek online saat itu. 

Saat saling curhat, aku menangkap ia rindu ke gereja. Mungkin rasanya sama dengan aku yang rindu ke masjid. Dia lebih beruntung karena jarak tempat sembahyangnya tak sampai puluhan kilometer seperti aku. Berhubung aku bisa mengendarai motor, bermodal pinjaman kendaraan teman, aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya ke gereja. Usai ibadah dia akan SMS, dan aku menjemputnya. Semua kulakukan bukan karena pamrih. Ia begitu sumringah.

Karena mayoritas masyarakat di perkebunan aku bekerja adalah Nasrani, perusahaan kerap menjadikan gereja sebagai tempat sosialisasi. Jika Hanum pernah masuk gereja untuk menghangatkan diri dari hawa dingin Wina, aku pun pernah masuk gereja dengan tetap berhijab. Tak ada yang memicingkan mata justru senyum ramah yang mereka tawarkan.

Saat aku puasa, senior aku bahkan tanpa diminta membangunkan aku. Lantas aku semakin terharu, ketika ia memasakkan aku di pagi-pagi buta sementara ia sendiri tak berpuasa. 

Aku diangkat sebagai adik oleh rekanku asli Dayak yang berbeda keyakinan. Sebuah perayaan yang ditandai dengan potong ayam. Puncak toleransi itu adalah ketika aku diangkat anak oleh humas yang merupakan keluarga Katolik taat. 

Saat akhir pekan tiba, beliau dengan senang hati akan mengajakku pulang ke rumahnya. Istrinya, yang aku panggil Ibu selayaknya ibuku sendiri menerimaku dengan tangan terbuka. Bahkan, saat Ramadan tiba, Ibu akan memasakkan sahur sebelum berangkat menoreh karet. Ketiga anaknya pun begitu senang jika aku datang meski aku tak pernah mencopot jilbabku di hadapan mereka.

Jika Hanum menemukan cahaya usai terbang ke Eropa menyusul suaminya yang tengah melanjutkan studi, aku menemukan cahaya di negeriku sendiri. Berangkat tanpa sanak saudara, namun pulang dengan banyak keluarga yang mengaku menunggu kedatanganku lagi.

Itulah sepotong kisahku dari Landak, pemekaran Pontianak. Kami damai dalam indahnya perbedaan. Kami saling menghargai. Bahkan setelah 10 tahun berlalu kami tetap saling berkontak. Harmonis itu nyata asal tidak ada yang "mengompori". 

Bagaimana kisahmu tentang toleransi beragama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun