Tapi yang paling sering saya lakukan adalah menggunakan jasa kolektif yang dikelola teman-teman di kantor. Kita tinggal mencatat jumlah dan lembaran pecahan yang kita ingginkan. Kemudian setorkan  jumlahnya kepada pengelola.Â
Nanti perwakilan yang akan menukarkan langsung ke Bank Indonesia. Â Dan jasa ini yang saya gunakan beberapa tahun terakhir. Aman, tanpa biaya tambahan, dan bisa mengakomodir jumlah yang kita inginkan.
Namun tahun ini semua itu tidak ada lagi. Tidak ada suasana antri menukar uang baru di bank. Tidak ada waktu berburu amplop-amplop cantik yang akan diberikan kepada ponakan. Tidak ada lagi jeritan riang kala saling berebut uang baru yang ditebar. Semuanya tidak ada lagi.
Bank-bank tidak lagi membuka loket penukaran uang baru. Mobil-mobil penukaran uang yang  mangkal ditempat-tempat umum menjelang lebaranpun tidak tampak. Ibu-ibu yang biasanya menyodorkan ikatan-ikatan uang baru dipinggir jalan juga tidak terlihat. Uang baru tidak laku lagi. Lebaran kali ini kita tidak membagi-bagikan uang baru. Lebaran ini kita dirumah saja.
Secara berseloroh anak bujang saya mengatakan kalau tahun ini anak kecil harus membuka rekening di bank. Karena silaturahim antar keluarga kita jalani secara online, salaman lewat panggilan vidio, maka uang lebarannya juga lewat rekening. Karena uang baru tak lagi laku, maka ketika melakukan panggilan video cantumkan nomor  rekening anak-anak dengan teks berjalan pada bagian bawah layar, kata anak saya dengan konyol.
Kedengarannya boleh juga. Tapi tentu suasananya tidak sama. Karena pada dasarnya saat membagi-bagikan uang baru, penekanannya bukan pada nominal yang diserahkan, tetapi berbagi sebagai bagian dari penguat ukhuwah. (Rima. Z)