"Mar bangun Mar, sudah mau subuh. Kau sudah kesiangan, apa hari ini tak berangkat ke pasar?"
"Hem, sebentar lagi Mak," ucap Damar dengan berat saat dibangunkan emaknya.
Damar memiringkan badan, menarik selimut dan menutupi sekujur tubuhnya. Kepada emaknya, ia mengeluh sangat kedinginan. Si emak yang tampaknya tahu anaknya sedang kurang enak badan langsung bergegas ke pawon dan memasak air. Mak Utt, membakar beberapa kertas untuk menyalakan api di tungku yang disusun dari beberapa batu bata. Perlu banyak kertas untuk membuat api menyala karena kayu bakar dari belakang rumah masih basah oleh embun.
Sudah menjadi rutinitas Mak Utt membangunkan Damar setiap pagi dini hari. Anak lelakinya itu biasanya berangkat ke pasar untuk memanggul ikan atau sayuran sebelum kokok ayam bersahutan. Biasanya, ia berjibaku dengan berkuintal-kuintal beban dan berkejaran dengan waktu karena tetap harus berangkat ke sekolah setelahnya.
"Heh, badanmu panas tinggi Mar?"
"Kamu sakit nak, jangan dipaksa. Hari ini istirahat saja," ujar Mak Utt sambil berusaha keras meniup bara.
"Libur sekolah sekalian juga tak masalah Mar," imbuh Mak Utt.
"Sebentar lagi ujian mak," kata Damar lirih.
Benar saja, remaja kelas tiga SMA yang tangguh itu akhirnya tumbang dan tak berangkat manggul seperti biasanya. Mak Utt membuatkan minuman hangat sekaligus mananak nasi untuk sarapan anak-anaknya. Lauknya, masih ada ikan goreng kemarin yang beruntung belum digondol kucing.
Saat matahari pagi mulai muncul, Mak Utt membangunkan adik-adik Damar untuk segera bergegas bergantian mandi lalu sarapan. Hari itu Damar juga terpaksa bolos karena tak ada yang membuatkan surat izin sakit untuknya.
Emaknya, janda anak empat itu tak pernah mengenyam bangku sekolah, buta huruf dan hanya tahu mata uang. Utomo, kakak Damar yang tak tamat SMP sudah hampir lima tahun tak pulang karena mencari peruntungan. Katanya jadi kuli tambang emas di Sumatera. Damar punya dua adik, Tri yang masih kelas 4 SD belum lancar membaca. Dan si bungsu bernama Catur yang duduk dua tingkat di bawah kakaknya. Karenanya, hal-hal protokoler di keluarga ini, hanya Damar yang bisa. Lagi pula, tidak ada yang akan sempat mengantarkannya ke sekolah sekalipun Damar menulis suratnya sendiri. Bisa dibilang, ia laki-laki nomor satu di rumah, pengganti ayah dan kakaknya.