Mohon tunggu...
Rilo Pambudi
Rilo Pambudi Mohon Tunggu... Lainnya - Penggembala Angin

Pembual paruh waktu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang Tepat Waktu

1 April 2021   15:47 Diperbarui: 2 April 2021   20:05 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meski nasib keluarga itu kurang beruntung, mediang ayah Damar adalah sosok yang sangat melek perkembangan zaman. Semasa hidup, nelayan miskin itu menggembleng anak-anaknya agar sadar pendidikan. Ia bercita-cita anak-anaknya bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Pendidikan bak satu-satunya jalan untuk mengangkat drajat keluarga.

Utomo dan Damar, keduanya adalah anak yang cerdas. Sejak masuk SD, putra nelayan kampung itu selalu menjadi yang nomor satu, minimal di kelas. Mungkin karena dari bayi lebih sering makan ikan ketimbang beras. Hanya saja, nasib Utomo memanng lain dan nahas.

Tengah hari, badan Damar mulai ringan. Efek racun ikan sembilang itu rupanya hanya berdampak kurang dari 24 jam. Tidak, bukan karena racunnya. Tapi lebih karena psikis remaja berambut ikal itu yang mungkin jauh lebih kuat. Tubuh dan pikirannya menolak sakit. Semangat hidup dan cita-cita memaksa racun hengkang dari tubuhnya. Kekuatan itu di antaranya bersumber dari semangat dan impian untuk menganggkat drajat serta martabat keluarganya. Dalam benaknya telah tertanam, ia harus hidup untuk ibu dan adik-adiknya. Di satu sisi, ia juga mesti pulih untuk menuntaskan sekolahnya. Sekolah adalah satu-satunya jalan agar nasibnya berbeda dari anak-anak nelayan miskin lainnya. Persis seperti ajaran ayahnya.

Binar mata Mak Utt tampak lega saat sore hari pulang dari pabrik dan melihat Damar sudah pulih.

Ia mandapati anak keduanya itu sudah di belakang rumah, memotong kecil-kecil kayu bakar yang masih setengah basah.

"Kau sudah sehat?" tanya Mak Utt.

"Sudah, hanya patil sembilang," ucap Damar tenang.

Mak Utt hanya tergeleng-geleng lega melihat anaknya sudah kembali seperti biasa.

Meski seorang pekerja, Damar bukan tidak pernah belajar. Pasar, terminal, TPI, tambak, pantai dan laut adalah ruang belajarnya. Sopir-sopir angkutan, para nelayan, dan orang-orang pasar adalah gurunya. Ia adalah anak yang mudah bergaul, dan semua tahu ia cerdas. Apalagi, semenjak ia menjadi jawara catur di terminal.

Meski tak punya TV, telinganya telah belajar politik dari gujingan para nelayan yang sedang tak melaut dan sedang ngopi di warkop pinggir sungai, 'hidden transcript' istilah kampusnya. Meski tak punya gadget, sesekali ia menyempatkan ke warnet atau lab komputer di sekolah saat jam istirahat. Damar memantau perkembangan zaman. Isu-isu ekonomi hingga selebriti kenyang ia telan dari koran harian yang ditempel di mading sekolah. Ujian nasional rasanya seperti ulangan harian biasa baginya.

Damar diam-diam mengajukan beasiswa masuk kuliah di sebuah universitas. Sesuai bidang yang diminatinya, ia mengambil Jurusan Sastra Indonesia di perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Wajar bila dalam hati kecil orang sekelas Damar sangat ingin melanjutkan pendidikan. Apalagi,bila mengingat didikan sang ayahnya untuk terus sekolah selagi mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun