Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tak Berhenti pada Pencoblosan

17 April 2019   00:44 Diperbarui: 17 April 2019   01:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat suara dan kotak suara - kompas.com

Pada 17 April 2019 semua warga negara Indonesia berduyun-duyun mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Antrian warga yang antusias memberikan hak pilihnya bisa jadi mengular panjang, seperti TPS-TPS yang ada di luar negeri.

Raut wajah para pemilih terlihat sumringah. Disertai tawa riuh rendah. Tidak mengeluh dalam antrian panjang. Tetap menikmati suasana, sambil bercengkrama dengan pemilih lain.

Saat gilirannya satu per satu memasuki bilik pemungutan suara. Bilik yang berukuran selebar badan orang dewasa itu menjadi saksi. Terdapat lima lembar surat suara pun harus dicoblos. Masing-masing untuk kartu suara Presiden, anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota dan anggota DPD.

Sedangkan bagi warga Jakarta hanya empat kartu suara. Karena tidak ada pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota. Apalagi bagi warga yang mencoblos di luar negeri, jumlah kartu suaranya lebih sedikit.

Tidak lebih dari lima menit, prosesi pencoblosan itu pun berakhir. Surat suara yang sudah dicoblos dan dilipat akan dimasukan dalam kotak suara. Surat suara dimasukan pada masing-masing kotak, sesuai jumlah kartu suaranya.

Tinta ungu menjadi bukti penguat. Bukti telah menunaikan tugas negara. Menyampaikan aspirasi politiknya untuk mewujudkan Indonesia pada lima tahun mendatang. Sungguh ini prosesi sederhana, tetapi berdampak luar biasa.

Dari sisi inilah tanggung jawab atas aspirasi politik harus lahir. Tidak berhenti pada saat pencoblosan usai. Setiap warga negeri yang telah menyerahkan hak pilihnya secara politik pula punya tanggung jawab mengawalnya sampai lima tahun mendatang.

Kesadaran tersebut harus tumbuh. Sekaligus harus berani ditunjunkan setelah pencoblosan. Jika Presiden, anggota DPR, DPRD maupun DPD yang dipercaya itu tidak bekerja maksimal, maka segera lantangkan suara. Menuntutnya untuk kembali bekerja optimal.

Teruslah mengawalnya sampai lima tahun ke depan. Jika memang sepanjang waktu itu menunjukan kegagalan, secara lantang dan berani pula menuntutnya untuk mundur. Teriakan amarah atas kekecewaan dan kegagalan itu. Tuntutlah Presiden, DPR, DPRD dan DPD yang telah ditunjuk bertanggung jawab.

Tidak segan pula menyeretnya ke ranah hukum, jika memang bukti pelanggaran itu nyata. Bahkan secara keras memberikan hukuman sosial. Catatkan nama politisi gagal itu dalam sejarah digital. Jadikanlah nama politisi gagal itu sebagai contoh dalam diskusi dan dialog politik. Biarkan nama politisi gagal itu bergemuruh diberbagai obrolan politik. 

Setidaknya dengan cara inilah surat suara yang telah dicoblos memiliki arti nyata. Semoga Presiden, anggota DPR, DPRD dan DPD yang telah dipercaya itu tidak seburuk dipikirkan. Selamat bekerja dan ukirlah sejarah baik.

Peneliti Kebijakan Publik
Institute for Development of Policy and Local Partnership

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun