Mohon tunggu...
Rikma Pethak
Rikma Pethak Mohon Tunggu... -

Seorang tua yang sendirian...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gumregah atau Mlumah?

26 Februari 2015   20:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14249307801681590439

[caption id="attachment_353053" align="aligncenter" width="300" caption="Gumregah atau Mlumah?"][/caption]

Wheladalah… Kemarin ternyata di media sosial ada kehebohan tentang poster JOGJA GUMREGAH yang disebut merupakan Pisowanan Agung Rakyat Jogja Istimewa dalam rangka Launching Gerakan Budaya Citizen Branding Jogja Istimewa.

Seolah masih kurang puas mendapat sindiran dan komentar kurang menyenangkan seputar logo baru Yogyakarta yang dihasilkan, poster peluncuran logo yang rencananya akan dilaksanakan 7 Maret nanti tak kalah mengundang kontroversi.

Tak tanggung-tanggung desain poster kegiatan Jogja Gumregah yang secara mudah dapat dimaknai sebagai “Jogja Bangkit”, ternyata mirip dengan poster film Hollywood garapan Marc Foster, World War Z (2013).

Seperti biasa setiap ada bloopers, yang saya tunggu berikutnya adalah bagaimana pihak yang terkait menjelaskan hal ini, karena biasanya penjelasan itu akan menambah bahan bakar ke-ndagel-an, setidaknya buat saya sendiri.

Eh ndilalah muncul juga penjelasan dari pihak pembuat poster tersebut yaitu:


  1. Seharusnya desain itu belum boleh dipublikasikan karena sifatnya masih draft.
  2. Illustrasi itu hanya utk penanda visual sementara, jadi hanya sebuah perkiraan saja.
  3. Poster tersebut diambil dari Whatsapp Group panitia kegiatan launching ini, dan sejak poster tersebut dishare di sana tak ada komentar negatif lain dari pada anggota group.


Saya ini kalo bab desain memang nul puthul, bawang kothong, lompong bolong, tapi jika menurut penjelasan itu bahwa poster itu masih draf dan “ilustrasi ini untuk penanda visual sementara”, kok miturut saya malah medeni ya. Karena:


  1. Lha ing atase cuma untuk penanda visual, kok ya ndadak kangelan ngambil gambar dari sebuah poster Hollywood, terus ya kober alias sempat mengutak-atik sedikit sehingga tampak “beda sedikit” baru ditempelkan untuk menjadi sekadar “penanda visual”. Kok le sela tenan…
  2. Bukankah di luar sana banyak situs-situs yang menyediakan materi-materi desain yang bersifat boleh dibagi-pakai? Atau kalau tidak, jika dilihat dari bentuk “penanda visual yang mirip poster film itu”, kenapa tak sekalian diganti gambar Tugu saja atau gambar Merapi? Toh sama-sama menjulang?
  3. Atau misalnya kalo tak ada yang sesuai kenapa tidak sekalian didesain sendiri aja penanda visualnya, idhep-idhep sisan isa nggo persiapan finalisasi desain poster e kuwi nek nanti draft e disetujui, mbangane malah kangelan ngotak-atik poster film luar negeri, njuk ditemplekke draft desain poster e kuwi, hanya demi “penanda visual sementara untuk draft poster”, rak malah rugi waktu, biaya, dan tenaga to? Bener ora?


Hal lain yang menggelikan adalah, ternyata konsep poster ini belum boleh dipubikasikan tapi masih wacana internal di whatsapp group launching Gerakan Budaya Citizen Branding Jogja Gumregah itu.

Padahal kalau dilihat di twitter, sejauh ini poster paling awal muncul pada 20 Februari 2015 di sini:

#Jogja Launching Gerakan Budaya #JogjaGumregah | Sabtu, 7 Maret 2015 15.00-18.00 di Pagelaran Kraton Yogyakarta pic.twitter.com/oQrB3adshg— Info Event di Jogja (@event_Jog) February 20, 2015


Ini jadi keheranan saya, bayangkan di group whatsapp launching Jogja Gumregah yang mestinya terdiri dari orang-orang yang pinter-pinter dan pakar dibidang seni dan desain tersebut, mosok to sejak — katakanlah desain tersebut dibagi di group whatsapp mereka di hari yang sama dengan munculnya di twitter yaitu 20 Februari — , tak ada satu pun anggota group tersebut yang memberikan komentar negatif, bertanya, atau memberikan kritik pada desain poster tersebut? Tidak ada SATU PUN?

Kemudian poster tersebut “tanpa persetujuan” terpublikasi di media-media sosial bahkan ada yang hashtag #JogjaGumregah di tanggal yang sama. Mosok ya selama itu tidak ada yang sadar bahwa poster tersebut sudah tersebar tanpa persetujuan dan baru sadar LIMA hari kemudian, yaitu kemarin?

Bisa jadi alasan mereka karena sibuk, tapi sibuk apa? Harusnya kurang dari sebulan dari tanggal kegiatan launching, mereka sibuk mengurusi kegiatan itu termasuk publikasi dan mengamati sosial media sebagai salah satu tempat mereka woro-woro, lha kok ya pada ndak ada yang protes waktu itu? Mosok to luput dari perhatian? Ing atase ada HASHTAG e lho. Ndak meriksa hashtag pho?

Dan yang lebih menakutkan lagi bagi saya, apa jadinya kalau sampai tanggal 7 Maret yang akan datang, tidak ada orang yang mengunggah gambar yang membandingkan poster tersebut dengan poster film World War Z, sehingga poster tersebut resmi jadi poster publikasi kegiatan. Kemudian sehari setelah acara, baru ada yang menyebarkan gambar tersebut ke mana-mana. Kira-kira mau ditaruh di mana muka kita sebagai warga Yogyakarta, yang ngakunya istimewa tapi bikin poster untuk “launching” logo kotanya yang “citizen branding” itu jebul mencontek desain film luar negeri?

Akibatnya adalah, kesan yang muncul dari poster ini bisa jadi adalah ketimbang memberikan pesan “Gumregah” poster tersebut seolah mengajak warga Yogyakarta “Mlumah”, pasrah, manut saja apa yang orang-orang lakukan untuk daerah mereka, misalnya desain poster pengumuman launching ini.

Atau jika dikaitkan dengan film yang dicontek posternya itu, seolah warga Yogyakarta diajak “Gumregah”, tapi bukan untuk bangkit penuh semangat membangun daerahnya, melainkan untuk bangkit dan patuh menurut apa saja yang diperintahkan orang-orang pada mereka. Seperti zombie.

Atau…

Jangan-jangan ini hanya pengalihan isu saja. Jangan-jangan ini biar kita lupa kalau lahan-lahan bermain kita dulu dan anak-anak kita kini sudah berubah jadi hotel, apartemen, dan kos eksklusif yang mahal. Jangan-jangan supaya kita tak sadar kalau pasar tradisional kita sudah terkikis perlahan dan menjelma jadi mall-mall besar. Jangan-jangan biar kita lupa kalau air sumur kita mengering.

Jangan-jangan supaya kita tak menghitung Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY yang terhitung rendah dibanding Propinsi lain di Indonesia, sangat sukar meraih harga-harga sewa hotel, apartemen, kos eksklusif, maupun membeli barang-barangdi mall tersebut. Jangan-jangan ada sesuatu yang lebih besar dan tidak akan nyaman bagi masyarakat Yogyakarta. Jangan-jangan seperti saudara-saudara kita dari Betawi, kita -orang Yogyakarta- perlahan-lahan dipinggirkan.

Akhirnya, mungkin sama seperti warga Yogyakarta lainnya saat kemajuan jaman dan pembangunan nampak semakin melindas Yogyakarta dan warganya, saya mung trima mlumah, pasrah melihat bagaimana perkembangan kota ini kelak. Manut kersane Gusti Ingkang Maha Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun