Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter Spesialis Mata/Magister Hukum Kesehatan

BERKHIDMAT DALAM HUKUM KESEHATAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilema Hakim dan Persoalan Multitafsir Kealpaan Medik

20 Agustus 2025   08:53 Diperbarui: 20 Agustus 2025   11:54 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seminar Hukum Kesehatan, 2 Agustus 2025, UTA 1945 Jakarta

by dr.Riki Tsan,SpM,MH
( Mahasiswa Prodi Doktoral-S3,FH UTA 1945,Jakarta/S1-FH Untag,Semarang )

Pada tahun 1981 di Pati, Jawa Tengah terjadi sebuah kasus yang menghebohkan profesi dokter di Indonesia.
Dokter Setyaningrum, seorang dokter di Puskesmas, menangani pasien bernama ibu Rusmini yang menderita radang tenggorokan dan demam.  Setelah melakukan pemeriksaan, dr. Setyaningrum menyuntikkan cairan antibiotika streptomisin ke tubuh ibu Rusmini. Beberapa saat kemudian, pasien mengalami 'kejadian tak terduga' ( adverse events ) yakni reaksi alergi (anafilaksis). Tubuhnya  kejang kejang dan akhirnya dia meninggal dunia. Dokter Setyaningrum dituntut pidana karena tindakannya tersebut.

Di dalam persidangan, hakim memutuskan dr. Setyaningrum telah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia , didasarkan pada pasal 359 Kitab Undang Undang Hukum Pidana-Wetboek van Strafrecht (KUHP-WvS) warisan kolonialis Belanda dan ia diberikan sanksi pidana 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Pati   yang kemudian diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang.
Namun, dia dibebaskan oleh putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa dakwaan  tersebut tidak terbukti.

Tigah puluh tahun kemudian, persisnya tahun 2010 ,  di rumah sakit Prof.Dr. Kandouw Malalayang,Manado dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani ( dr.Ayu ), dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi kandungan, operasi Caesar terhadap pasien ibu Siska yang berada dalam keadaan gawat darurat. Bayinya selamat, tetapi ibu Siska meninggal dunia. Keluarga  pasien mengadukan ketiga dokter tersebut kepada pihak yang berwajib.

Pada pemeriksaan diperoleh fakta bahwa saat dr. Ayu dan kawan kawan (dkk) melakukan pemotongan pembuluh darah pada operasi tersebut, muncullah 'kejadian tak terduga' ( adverse events )  yakni risiko medis, berupa emboli ( gelembung udara ) yang kemudian masuk ke dalam  aliran darah sistemik, sehingga menyebabkan tersumbatnya paru paru dan menghentikan denyut jantung pasien.
Di Pengadilan Negeri Manado ketiga dokter tersebut dinyatakan tidak terbukti bersalah dan dibebaskan.

Namun, di tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung menjatuhkan pidana kepada mereka karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia. Mereka dinilai lalai/alpa mengurus Surat Izin Praktek (SIP)  dan Informed Consent atau persetujuan tindakan medis dari keluarga pasien.
Peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh pengacara dr. Ayu dkk ditolak oleh hakim dan kemudian menjatuhan hukuman pidana kepada dr. Ayu dkk selama 10 bulan penjara

Berdasarkan putusan ini terhadap ketiga dokter tersebut dilakukan penahanan seperti pelaku kejahatan kriminal.
Tim Kejagung menangkap dr.Ayu di tempat praktiknya dengan cara memborgolnya seperti layaknya seorang pembunuh, sedangkan dr. Hendri dan dr.Hendi dijemput paksa dan ditangkap  di rumah mereka masing masing.

Peristiwa ini menimbulkan kegelisahan, keresahan, berbagai protes, demonstrasi dan aksi solidaritas yang intinya menolak kriminalisasi terhadap dr. Ayu dan kawan kawan dari seluruh dokter di Indonesia pada bulan November tahun 2013.
Pada tanggal 7 Februari 2014, Majelis Peninjauan Kembali membebaskan dr. Ayu dkk yang sudah mendekan di dalam penjara selama 6 bulan, dengan amar putusan yang membatalkan kasasi sebelumnya yang menghukum dr. Ayu dkk dengan pidana 10 bulan penjara

Dengan mencermati kedua kasus di atas, tampak bahwa proses penegakan hukum dalam kasus kasus tindak pidana yang menjerat tenaga medis (dokter/dokter gigi ) dengan delik kelalaian atau kealpaan masih belum ada kesamaan pandangan diantara para aparat penegak hukum, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan sampai proses pemidanaan di pengadilan baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Perbedaan putusan pada kedua kasus  di atas  terjadi akibat tidak ditemukannya dasar ilmu hukum dalam menentukan ukuran kelalaian atau kealpaan.
Ada perbedaan yang cukup signifikan dalam melakukan penafsiran terhadap unsur kealpaan dalam perkara perkara medik, yang lazim dikenal dengan sebutan kealpaan medik ( medical negligence ). Dengan demikian, penafsiran atas medical negligence adalah penafsiran yang multitafsir artinya ada beragam penafsiran, bukan penafsiran tunggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun