Mohon tunggu...
Riki Hifni
Riki Hifni Mohon Tunggu... Freelancer - Seseorang yang mengagumi kata-kata

Lahir di Pasuruan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perkara Cinta

7 Oktober 2023   16:41 Diperbarui: 7 Oktober 2023   16:42 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam cerita ini saya akan mengajak Anda mampir ke beranda sebuah toko buku dan memperhatikan sosok robot gembul berwarna kelabu dengan wajah mirip kucing. Robot itu sedang berdiri sambil memandangi hujan di luar sana, yang seperti akan turun selama-lamanya. Si robot menenteng sebuah kantung plastik berisi satu kumpulan cerita pendek Raymond Carver yang dibelinya dengan harapan bakal memperoleh beragam kisah sedih tentang cinta.

Pengendali robot itu adalah seorang lelaki berusia 23 tahun dan, selain merancap, kegiatan yang paling ia gemari adalah membaca roman sedih sebagaimana tokoh Pak Tua dalam novelnya Luis Seplveda. Mungkin karena ia juga tak pernah lepas dari rasa sedih; kesedihan bagaikan napas dalam hidupnya. Tapi saya tidak ingin menarik kesimpulan atas kesehatan mental pemuda itu. Tentu Anda tahu, jiwa manusia tak ubahnya ruangan yang memiliki bertumpuk-tumpuk sampah, dan kesedihan yang melanda kita bisa berasal dari tumpukan mana saja. Menguraikannya satu per satu boleh jadi akan butuh waktu lama---atau malah sepanjang masa.

Lelaki itu sudah tidak sabar ingin membaca karya Raymond Carver sejak kali pertama ia, secara tak sengaja, menonton video Harari Laksana membacakan salah satu cerpen Carver, yang berjudul What We Talk About When We Talk About Love, di kanal Youtube-nya. Lelaki itu, sebelum mulai membaca, mengaku tengah positif corona varian omega setelah nekat mendatangi seorang pelacur. Ia yakin umurnya tidak akan lama lagi dan memang kemudian ia mati seminggu setelahnya. Namun alih-alih memilih corona menghabisinya, Harari Laksana malah memutuskan untuk melompat dari puncak apartemennya dengan kedua tangan memeluk foto mendiang Budi Darma.

Bagaimanapun, kisah empat orang yang membicarakan makna cinta dan bukan cinta dalam cerpen Carver, yang dibaca Harari Laksana, terus terngiang di kepala tokoh utama kita. Mereka seperti mengajaknya untuk ikut pula memikirkan soal cinta dan kemudian mengenang kembali perempuan dari masa lalunya semasa SMA. Perempuan yang telah banyak mengirminya surat cinta dan pernah mengajukan sebuah pertanyaan tentang cinta kepadanya.

Sambil mengenang perempuan itu, melalui mata sang robot yang terhubung dengan kaca mata VR, ia bisa melihat hujan di depannya kian lebat. Sebenarnya ia ingin agar sang robot bergegas pulang karena ia tipikal orang yang tidak mau menunggu. Sayangnya, ia juga khawatir kalau butir-butir air seukuran biji jeruk itu akan merusak sirkuit robotnya dan itu berarti ia tak akan bisa bekerja atau membeli apa-apa dalam waktu yang lama dan wajib mengurus berkas-berkas birokrasi yang rumit agar pemerintah memberinya robot baru.

Samar-samar, selagi matanya menatap hujan melalui kaca mata VR, ia mendengar suara reporter dalam program berita yang tengah ditonton kedua orangtuanya. Ia, si reporter itu, sedang mewartakan satu topik yang kian membuatnya putus asa: bahwa vaksin untuk varian omega masih belum ditemukan, bahkan setelah lima tahun berlalu sejak pertama kali mutasi terkuat corona itu muncul.


Ia mengingat lagi hari-hari yang sempat membuat dirinya dan banyak orang berpikir kalau kiamat telah tiba. Saya yakin, Anda sekalian juga masih bisa merasakan kengerian sewaktu manusia bertumbangan di sana-sini dan mayat-mayat tidak hanya menyesaki rumah sakit, melainkan juga jalan-jalan, pasar, emper toko, rumah-rumah, bahkan lorong-lorong permukiman. Kuburan di mana pun penuh, dan pesanan peti mati membeludak, walau banyak yang tak selesai karena sebagian besar tukang peti pun meregang nyawa ditapis jalang corona.

Dunia seperti kehilangan harapan karena masker, hazmat, bahkan vaksin merek apa saja, melempem semua di hadapan varian omega. Dan pada akhirnya, sembari menanti harapan entah apa pun itu, kita memilih hidup seperti kura-kura yang enggan keluar dari tempurungnya.

Saya dan Anda telah kehilangan banyak hal tak tergantikan dalam hidup. Saya sendiri kerap merasa hampa, bahkan setelah negara-negara di berbagai penjuru dunia bersatu dan, entah dengan cara bagaimana, berhasil mengumpulkan para ahli robot sampai programmer yang biasa berurusan dengan kecerdasan buatan untuk membikin avatar agar manusia bisa melanjutkan hidup tanpa perlu keluar rumah. Begitulah, tahu-tahu kita menjalani peradaban hanya dari dalam rumah, sambil mengenakan kaca mata VR, menancapkan kabel pada biocip yang tertempel di pelipis kanan dan kiri, lalu menyerahkan separuh kesadaran pada robot dan robot-robot ini telah diprogram untuk hanya bisa dipakai satu orang saja.

Saya dan Anda memang bisa kembali melanjutkan hidup, tapi kita sama-sama tahu: tak ada lagi yang sama sejak varian omega. Segala hal kelihatan muram dan hanya bandul nasib yang kita punya.

Selama sepersekian detik, ada kesedihan juga yang merambat dalam diri tokoh utama kita tiap kali mengenang masa-masa itu. Kesedihan yang ibarat ular pelan-pelan melata di permukaan kulit: dingin dan meresahkan. Namun paling tidak, dengan ini, kita bisa menduga bahwa salah satu uraian sampah yang terus memerosokkannya dalam perasaan murung adalah eksistensi ruang-ruang kosong dalam jiwanya setelah ditinggal mati banyak orang terdekat gara-gara varian omega.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun