Mohon tunggu...
Rika Yoesz
Rika Yoesz Mohon Tunggu... -

freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjuangan Fasilitator Pemberdayaan Desa

14 Maret 2014   20:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1394776715263852462

Pekerjaan sebagai fasilitator pemberdayaan di desa bukan pekerjaan gampang. Tidak banyak yang bisa bertahan bekerja sebagai fasilitator, Banyak yang kalah sebelum bertempur, tak sanggup jika ternyata ditempatkan di daerah yang jauh, terpencil. Atau ada yang terpaksa bertahan menunggu batas akhir kontrak,  atau telah mendapatkan batu loncatan lain. Banyak pula yang mundur, karena tidak terampil menjadi komunikator yang baik sebagai penyampai pesan yang handal untuk membuat perubaha, tidak cakap menghadapi watak masyarakat desa yang terkadang juga sulit dan belum tentu mau menerima kehadiran orang luar.

[caption id="attachment_315652" align="aligncenter" width="797" caption="salah satu medan tempuh fasilitator pemberdayaan desa"][/caption]

Program  Nasional yang diluncurkan oleh pemerintah berbungkus pemberdayaan masyarakat ini sebenarnya adalah program yang luar biasa. Menempatkan sarjana-sarjana tangguh untuk menyalurkan pengetahuannya hingga ke pelosok daerah terpencil, menularkan ilmu kepada masyarakat yang selama ini tidak paham akan haknya sebagai warga Negara untuk berpendapat, memperjuangkan kemajuan daerahnya, menyampaikan keinginan dan mimpinya. Mendidik mereka memahami prinsip-prinsip bernegara, non diskriminasi, desentralisasi, transparansi dan lain sebagainya.

Tetapi, perjuangan sebagai fasilitator pemberdayaan penuh dengan perjuangan. Pertama sekali mereka harus menyiapkan mental sebelum terjun ke lapangan, karena medan tempuh yang harus mereka lalui sehari-hari penuh perjuangan yang tidak tanggung-tanggung. Jalan setapak yang penuh kubangan lumpur. Menyebrang dengan rakit atau pompong dari pulau ke pulau, mengendarai sepeda motor, sepeda goet, atau dengan goyang lutut, karena tak ada kendaraan yang bisa melintas. Bahkan tak jarang mereka juga terpaksa membopong kendaraan mereka mana kala ditengah jalan hujan deras membuat jalanan tak bisa dilalui kecuali berjalan kaki. Bernyanyikan malam dengan jangkrik dan temaramnya lampu sentir atau hanya dengan bulan dan bintang adalah lagu kehidupan yang terbiasa menoreh mereka, karena PLN belum masuk ke desa, Karena memang, umumnya desa yang menjadi lokasi pemberdayaan bagi masyarakat memang desa yang terisolir, sebab target pemberdayaan adalah mengentaskan kemiskinan.

Mereka terpaksa dan mau tak mau berkelana sendiri meninggalkan anak dan istri/ suami karena pekerjaan mereka terkategori tenaga kontrak yang setiap saat harus rela berpindah-pindah dari kecamatan satu ke kecamatan lain, atau juga berpindah kabupaten, tergantung wilayah terisolir mana lagi yang menjadi target pemberdayaan.

Honor fasilitator pemberdayaan terhitung lumayan. Sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5,5 juta include dengan biaya operasional. Yah, setidaknya lebih besarlah jika dibandingkan dengan buruh pabrik. Tetapi sebanding juga dengan pekerjaannya yang super duper , mendampingi masyarakat yang harinya tidak berbatas, hari libur atau hari besar yang terkadang tetap mengadakan rutinitas pendampingan dan musyawarah,  jam kerjanya tidak beraturan, karena terkadang malam hari pun harus mendampingi masyarakat, sebab jam sebegitulah masyarakat bisa meluangkan waktunya untuk berkumpul. Juga mobilitas yang tinggi perjalanan dari desa ke desa yang perharinya tidak ke mana harus membeli bensin 2 sampai 3 liter. Dan boleh dipertaruhkan, harga BBM di daerah terpencil jauh lebih mahal Rp 2.000 s/d Rp 3.000 perliternya, artinya untuk biaya transport saja mereka harus mengeluarkan biaya Rp 500 ribu s/d Rp 1 juta. Itu kalau hanya jalur darat, bagaimana dengan wilayah dampingan ekstrim atau sangat sulit yang harus menggunakan pompong, tentunya harus ada uang ekstra lain lagi. Itu belum lagi biaya minum/ makan dijalan untuk menuju dari satu desa ke desa lainnya yang jaraknya 10-20 km dengan kondisi yang rusak parah. Perharinya mereka harus menghabiskan uang sekitar Rp 50.000,- untuk biaya warung pagi siang dan malam. Jadi, berapakah uang yang tersisa ? dipotong biaya mandah/ kos, biaya komunikasi, biaya koordinasi dengan kabupaten, biaya asuransi, biaya kesehatan, kredit sepeda motor dan lain sebagainya. Tentu tak banyak yang bisa singgah ke rumah untuk biaya hidup keluarga termasuk susu anak. Bagi yang berhemat, mungkin mereka masih bisa sedikit menabung, meskipun itu sangat sulit sekali.

sayang, lagu klasik tengah bermain diantara guncangan perut , guncangan hati, jeritan anak, cemberut para istri dan guncangan pemberdayaan, panggilan hati masyarakat yang harus didampingi, serta permintaan laporan kerja setiap harinya dan bila saat-saat dibutuhkan, karena alur tahapan kerja sudah tertata rapi tanpa bisa ditoleransi. Pekerjaan tidak bisa terpaksa diliburkan karena honor dan biaya transport pada awal-awal tahun acap kali tertunda, bisa 1 bulan atau 2 bulan. Untuk urusan ini mereka memang harus pintar-pintar menyiasati, yah... ini lagu usang yang seharusnya bisa sama-sama difikirkan agar tak terulang dan berulang. Dampaknya tentu saja masyarakat juga yang dirugikan, pendampingan akan terkendala karena ongkos untuk kelapangan pun sudah tidak ada. Tapi tetap saja para tenaga lapangan itu tetap komitmen, sabar dan sabar. seraya berdoa, semoga tahun-tahun berikutnya tak begitu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun