Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamu Harus Belajar Kalah, Ma!

2 Februari 2020   16:55 Diperbarui: 2 Februari 2020   17:52 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepulang sekolah anak saya yang sulung pernah jatuh dari sepeda sekitar 500 meter dari rumah. Lututnya koyak tapi matanya kering. Baru setiba di depan rumah dia menjerit memanggil saya dan tangisnya pun pecah.

Begitulah karakternya. Dia akan menahan sakit sekuat tenaga sampai dia menemukan kembali tempat dia merasa aman dan terlindungi.

Kemarin ketika dia gagal menuju final liga taekwondo saya melihat dia berjalan mengitari arena dengan bibir terkatup. Matanya hanya memandang lurus ke depan sampai dia tiba di podium dan melihat saya mengembangkan tangan, siap untuk memeluknya. Dia mulai terisak-isak dan hati saya hancur.

Kesedihannya karena kembali mendapat medali perunggu seperti tahun lalu adalah juga kesedihan saya. Saya tahu betapa dia sudah berlatih keras, betapa dia berusaha meraih poin demi poin, tapi lawannya lebih kuat. Sambil menangis ia menyesali kondisi fisiknya yang masih batuk, tendangannya yang kurang tenaga, kejatuhannya karena didorong lawan, dan sejuta penyesalan lain.

Sulit bagi saya untuk membuat kepalanya tetap berada di atas air saat saya sendiri mulai tenggelam.

Naluri saya sebagai orang tua adalah membenarkan anak saya. Setibanya di rumah saya menonton lagi video saat dia tampil dan penyesalan-penyesalan dia yang saya coba counter dengan kalimat-kalimat motivasi, berubah menjadi penyesalan-penyesalan saya.

Seandainya begini, seandainya begitu. Sayangnya waktu tidak pernah bisa diputar kembali dan hasil akhir sudah keluar.

Hari ini anak saya yang tengah yang berkompetisi dalam liga. Keputusan untuk mengikutkan dia bisa dibilang sangat mendadak, hanya seminggu sebelum liga. Walaupun dia sudah punya teknik tendangan, pengalaman bertarungnya masih nol besar. Saya berani mengajukan dia karena saya ingin dia belajar mengelola emosi dan bertanggung jawab.

Di usia 6 tahun emosinya sangat labil. Dia bisa tiba-tiba tidak mau melakukan sesuatu hanya karena tidak mood. Sifatnya ini cukup membuat saya was-was, jangan-jangan nanti di arena dia tiba-tiba mogok, menolak untuk bertarung. Duh, saya nanti merasa malu dan tidak enak sama pelatihnya.

Oleh karena orang tua tidak diperbolehkan masuk ke arena, saya titip si anak tengah ke kakak kelasnya. Saya perhatikan dari podium moodnya masih bagus dan dia masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan pada kami sebelum masuk ke arena.

Lawan tarungnya tadi lebih kuat dari lawan kakaknya kemarin. Anak saya berkali-kali jatuh ditendang dan tendangannya sendiri tidak masuk. Yang ajaib, dia tidak menangis. Padahal waktu latihan duel dengan kakaknya dia gampang sekali menangis kalau merasa kesakitan.

Selesai pertarungan dia menghampiri kami dengan ceria. Saya tanya, "Apa tadi ada yang sakit?" Dia jawab, "Sedikit, tapi aku ga apa-apa." Dia tidak masalah tidak lolos ke final, karena dia senang sudah mencoba.

Yang merasa masalah itu saya.

Saya membandingkan skor dia dengan skor kakaknya tahun lalu. Saya lupa kalau mereka mulai ikut liga di usia yang berbeda (dia di usia 6 tahun, kakaknya di usia 9 tahun) dan skill level yang juga berbeda (dia sabuk hijau, kakaknya sabuk hitam). Saya salah sudah mengharapkan tingkat kematangan yang sama, dan kecewa saat mereka mendapatkan hasil yang sama untuk sebuah permulaan.

Saya belum lama menjadi orang tua. Sepuluh tahunan itu kurun waktu yang sebentar untuk melihat kelemahan-kelemahan saya yang harus terus-menerus saya perbaiki demi anak-anak saya. Saya sering lupa, hidup anak-anak saya bukanlah hidup saya. Kekalahan/kesulitan/pergumulan/kekecewaaan/perjuangan mereka bukanlah kekalahan/kesulitan/pergumulan/kekecewaan/perjuangan saya.

Hidup mereka dulu, sekarang, dan nanti bukanlah hidup saya yang diputar ulang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hidup mereka bukanlah reinkarnasi dari hidup saya. Hidup mereka adalah milik mereka sendiri, yang kebetulan dipercayakan pada saya sebagai orang tua untuk saya isi supaya mereka menjadi manusia-manusia yang decent.

Hal ini saya sadari tahun lalu waktu anak saya yang sulung akan ujian sains. Materi ujiannya banyak sekali dan saya punya kebiasaan merangkum materi itu menjadi poin-poin supaya dia bisa lebih mudah belajar. Saat kuis dia mendapat nilai rendah. Di situ saya marah, "Kenapa tidak mendapat nilai tinggi, kan Mama sudah bantu merangkum materi?" Jawabannya sederhana sekali, "Cara belajar Mama bukan cara belajar aku."

Rangkuman yang saya buat bukan rangkuman menurut cara berpikir dan pemahaman dia, jadi apa pantas saya menuntut dia mendapat nilai tinggi berdasarkan cara saya?

Sejak saat itu saya biarkan dia belajar dengan caranya sendiri, dan membantu hanya kalau dia betul-betul tidak mengerti. Ternyata hasilnya sangat bagus; dia jadi lebih bertanggung jawab dan sadar bahwa semua hasil yang dia dapat notabene karena usahanya sendiri.

Bukan hanya anak yang harus belajar kalah, saya sebagai orang tua juga. Hidup anak-anak saya akan selalu penuh dengan tantangan, dan saya hanya bisa mempersiapkan iman, karakter, dan talenta mereka untuk menghadapi hidup yang penuh kekalahan dan tidak selalu menyenangkan. Bukannya berharap semua kekalahan dan kesakitan mereka bisa pindah menjadi kekalahan dan kesakitan saya. Kalau demikian, saya tidak membesarkan anak-anak yang tangguh, tapi anak-anak yang manja.

Sebagai penutup tulisan ini, saya jadi teringat perkataan Bapak saya waktu saya tidak menjadi juara kelas semasa SD.

"The result is up to you, but is this your personal best?"

Saat itu saya hanya menggelengkan kepala. "This is not my best, I haven't even tried."

"Then you know what to do."

Kompetisi itu baik, tapi yang paling penting adalah menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Oleh karena itu, bukan hanya anak-anak yang harus belajar kalah karena belum memberikan yang terbaik dari diri mereka.

Kamu juga harus belajar kalah, Mama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun