Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tips Menggunakan Grup WhatsApp untuk Ibu-ibu

20 Oktober 2017   10:13 Diperbarui: 17 Maret 2018   23:26 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan kali ini khusus ditujukan untuk ibu-ibu. Mengapa? Karena saya sudah termasuk ibu-ibu, dan ada perilaku dari kelompok ini yang membuat saya gelisah.

Sampai saat ini saya belum pernah ketemu ibu-ibu yang tidak familiar dengan Whatsapp Group (WAG). Setelah BBM Group ditinggalkan orang karena sering bikin HP hang, ibu-ibu yang saya tahu beralih ke WAG untuk tetap menjalin komunikasi dengan komunitasnya. Tipe relasi dan komunikasi antara orang-orang yang tergabung dalam WAG agak berbeda dibandingkan mereka yang berinteraksi lewat Facebook (FB) dan Instagram (IG).

Di FB, interaksi terjadi antara pemilik akun dan orang-orang yang ada di Friends List-nya. Bisa jadi pemilik akun tidak kenal dekat atau bahkan tidak kenal sama sekali dengan semua friends-nya (untuk akun yang dipakai untuk berjualan online atau fandom artis, misalnya). Update dari kehidupan pemilik akun dan semua aktivitas medsosnya, seperti sharing informasi/berita/tips, bisa dilihat/disembunyikan dari timeline orang-orang yang menjadi friends-nya. Informasi/berita/tips yang di-share bisa jadi menarik tapi tidak signifikan di jagat raya timeline orang lain, kalau akun FB orang itu punya sedikit friend atau di-follow oleh sedikit orang. Lain di FB, lain di IG. Di IG, interaksi lebih tidak personal lagi. Kita bebas untuk follow/unfollow, mengikuti/tidak mengikuti update dari suatu akun, bahkan tanpa disadari oleh pemilik akun IG tersebut.

Kalau di WAG, orang-orang yang ada di dalamnya minimal sudah jadi kenalan, walaupun belum jadi teman. Ada WAG yang terbentuk karena orang-orang di dalamnya dulu satu sekolah, ada juga yang karena orang-orang di dalamnya punya anak-anak yang satu sekolah atau mengikuti les yang sama. Berbeda dengan FB dan IG dimana kita bisa memilih untuk tidak melihat update dari pihak lain, di WAG hal ini hampir mustahil dilakukan. Jenis komunikasi di dalam WAG sangat mendekati aktivitas mengobrol langsung antara manusia di dunia nyata, ditambah fitur bisa berbagi informasi lewat foto/video, dan ada chat history yang bisa disimpan.

Di sini berbagi informasi/berita/tips bisa jadi meresahkan.

Beberapa waktu lalu, dalam 1 hari yang sama saya melihat video "Nasi Mengandung Plastik" dari 3 WAG yang isinya mayoritas ibu-ibu. Dalam video ini ada 1 orang yang "sepertinya" membentuk bola dari nasi yang dibeli dari sebuah rumah makan Padang (nama rumah makannya terpampang jelas), lalu orang itu melempar-lempar bola nasi itu ke permukaan meja untuk membuktikan kalau nasi tersebut dicampur dengan plastik. Untuk menguatkan argumennya, ada 2 rekan dia yang berdiri di sebelahnya, 1 orang mencoba membuat bola nasi tapi bolanya hancur dan 1 lagi ikut mengomentari. Pelakon kedua yang hanya terdengar suaranya (wajah dan identitas lainnya tidak tampak di video ini) mengatakan bahwa nasi yang di tangannya adalah nasi plastik yang - quote, unquote -"ga bisa dibuletin dan hancur di tangan".

Ada 3 hal janggal yang saya perhatikan:

  1. Harga biji plastik itu lebih mahal dari beras, Ibu-ibu, jadi tidak masuk akal mencampur beras dengan biji plastik untuk mendapatkan harga beras per liter/per kg yang lebih murah.
  2. Di dalam video, laki-laki yang membuat bola nasi plastik tidak pernah terlihat mengambil langsung nasi dari kemasan nasi Padang yang terbuka di atas meja. Sejak awal video, bola nasi itu sudah berada di tangan kanannya. Sungguh aneh kalau mau membuktikan nasi dari nasi Padang itu mengandung plastik tanpa menunjukkan langsung nasi diambil dari bungkusan sebelum dibentuk menjadi bola. Wanita yang mencoba membuat bola nasi lain juga tidak menunjukkan identitas diri dan tidak menjelaskan sumber nasi yang dia pegang, apakah nasi itu dari kemasan lain, nasi yang baru dimasak, atau bagaimana.
  3. Identitas orang-orang yang berada di dalam video tidak jelas. Ada 1 wajah yang ditampilkan dan 3 suara yang terdengar, tapi tidak ada informasi tambahan siapakah mereka, apa pekerjaan mereka/latar belakang mereka, apa alasan mereka membuat video seperti itu (terlepas dari fakta apakah mereka/bukan mereka yang membuatnya menjadi "viral" dan menyebar di banyak sekali WAG), dan apa kesimpulan akhir yang ingin mereka capai. Kalau tujuan mereka hanya untuk membuat resah, wah, mereka ini sangat berhasil. Komen yang muncul dari posting video itu di setiap WAG dimana saya tergabung sungguh beruntun dan beragam, yang bisa disimpulkan dengan kalimat-kalimat berikut: "Ya ampun, serem ya", "Wah, harus lebih hati-hati sekarang", "Aku ga mau lagi makan nasi Padang" (nah lho!), dan sebagainya. Sadar ga sih, kalau banyak waktu dan tenaga terbuang untuk mengomentari suatu hal yang tidak masuk akal secara logika dan belum terbukti kebenarannya, untuk mengomentari sebuah HOAX.

Informasi/berita yang kita lihat di WAG kadang tidak bisa lepas dari benak kita (we cannot unsee it), jadi sungguh disayangkan kalau info hoax seperti ini yang hinggap lama di kepala kita, menyita perhatian, tenaga, dan waktu kita, padahal ada banyak hal lain yang lebih penting untuk kita lakukan sehari-hari.

Saya mau merangkum langkah-langkah yang semoga berguna sebelum ibu-ibu sharing informasi/berita/tips di WAG:

1. Lihat sumber informasi/berita/tips-nya.

Kredibilitas suatu media (konvensional seperti koran & TV, dan non-konvensional seperti situs berita online) tidak dibangun dalam satu hari. Masyarakat yang menjadi penikmat informasi yang melakukan verifikasi apakah suatu media memang mengabarkan berita benar/hoax. Walaupun kita akui kualitas reporter/wartawan di media cenderung menurun, koran seperti Kompas dan stasiun televisi seperti Metro TV mengukuhkan dirinya sebagai sumber informasi terpercaya karena mereka hati-hati dalam menurunkan berita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun