Mohon tunggu...
Rifqi Rohganda
Rifqi Rohganda Mohon Tunggu... Graduate Nusantara Business Institute Majoring In Communication Science of Broadcasting Study Program

author's hobby | we will never know, how difficult it is for someone, to learn to love the plot of the story | we never know, how difficult it is for someone, to gather their spirit, so that the path of destiny can still be followed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Metode AI Kita Bisa Tahu Jenis Tipe Diskusi Yang Disukai

13 September 2025   10:03 Diperbarui: 13 September 2025   10:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepanjangan dari AI bukan dari Artificial Intelligence melainkan Appreciative Inquiry, sebuah metode yang diciptakan oleh pakar manajemen asal Amerika yaitu David Cooperrider. Metode ini berkonsentrasi pada kekuatan sifat-sifat positif dan potensi perusahaan atau seseorang, alih-alih kelemahannya "Apa yang akan menjadi baik pada saat ini"? menggantikan pertanyaan klasik "Apa masalahnya?" Konsentrasi pada kelemahan akan menimbulkan kesan negatif sedari dini. Setiap orang, setiap sistem, setiap produk, setiap ide memiliki cacat. Dalam skenario terbaik kesadaran tentang fakta ini bisa mengantarkan pada tujuan kesempurnaan, namun tidak jarang fokus yang terlalu besar pada kekuarangan suatu gagasan atau proyek akan menahan pendekatan terbuka dan positif yang sangat penting bagi pelaksanaan tugas dengan baik. Adapun prinsip dasarnya adalah mengambil ide yang belum matang sempurna dan terus mengembangkannya, alih-alih menafikannya secara prematur.

Tidak jarang karakter seseorang terlihat dari cara berbicaranya. Ada empat tipe dasar yang menggambarkan reaksi orang terhadap suatu ulusan.

  • Pencari Kesalahan "Ide itu bagus, tapi..."
  • Diktator "Tidak!"
  • Guru Sekolah "Tidak, ide itu tidak bagus karena.."
  • Pemikir AI "Ya dan kita juga bisa.."

Belajar Dari Kesalahan Dalam Pola Pembelajaran Kaca Pembesar Ganda

Pembelajaran kaca pembesar ganda merupakan relfeksi tindakan kita dan pelajaran yang dipetik dari sana, meski terdengar sederhana tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Adapun teori yang dilandasi oleh karya Teoretikus Sistem yaitu Heinza Von Foester dan Niklas Luhmann terutama pada gagasannya "Observasi tingkat kedua". Ringkasanya ini bukan pola melainkan teknik untuk mengetahui segalanya, bagaimana menguasai teknik untuk mengetahui segalanya dan bagaimana menguasai teknik yang didambakan ini ? Cara sederhananya ialah belajar mengamati dari sudut pandang pengamat utama. Pengamat utama memandang segala sesuatu sebagaimana kelihatannya, bagi mereka dunia adalah sesuatu yang sedeharna, di pihak lain pengamat tingkat kedua mengamati cara pengamatan. Selama proses mengamati, pengamat utama tidak menyadari cara mereka mengamati. Ini merupakan titik kelemahannya, sedangkan pengamat tingkat kedua menyadarinya. Inilah yang memungkinkan mereka mengetahui semuanya. Mereka mampu menunjukan kepada pengamat utama tentang mngamati sesuatu secara berbeda. Dengan demikian melihat sesuatu secara berbeda tidaklah mustahil.

Psikolog Chris Argyris dan Filsuf Donald Schon mengembangkan pola pembelajaran kaca pembesar ganda tentang ide teoretis terhadap pengamatan ini. Dalam skenario terbaik kaca pertama (pengamat utama) adalar langkah terbaik. Sesuatu yang berjalan dengan baik tidaklah berubah, melainkan hanya berulang. Dalam skenario terburuk ini merupakan langkah terlemah sebab kesalahan yang sama terulang kembali atau persoalan diselesaikan tanpa mempertanyakan asal mualasalnya terlebih dulu.

Dalam pembelajaran kaca pembesar ganda, kita memikirkakn dan mempertanyakan yang kita lakukan, juga berusaha mematahkan pola sendiri. Bukan sekedar dengan melakukan sesuatu secara berbeda melainkan dengan memikirkan mengapa kita melakukannya sedemikian rupa. Apakah tujuan dan nilai di balik tindakan kita ? Jika kita menyadari sepenuhnya mungkin kita akan mampu mengubahnya.

Persoalan yang tidak bisa dilepaskan dari metode pola kaca pembesar ganda ialah kesenjangan antara yang kita katakan akan kita lakukan (dikenal sebagai teori keterikatan) dengan yang benar-benar kita lakukan (disebut sebagai teori yang diamalkan). Seandainya kita benar-benar ingin mengubah sesuatu tidaklah cukup dengan membuat poin-poin panduan bagi para karyawan dan kita sendiri atau memberikan pengarahan saja. Langkah ini hanya menjangkau kita sebagai perintah (teori keterikatan). Perubahan sesungguhnya terjadi apabila kita menyambungkan diri kembali ke alasan, tujuan, dan nilai-nilai yang berakar lebih dalam. Inilah "area kekuatan" yang mempengaruhi teori yang diamalkan.

"Orang bodoh manapun bisa mengkritik. Dan kebanyakan memang melakukannya" -Benjamin Franklin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun