Mohon tunggu...
Rifqi Rahman
Rifqi Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Self-Sufficient

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Muslimah Feminis

8 Mei 2021   11:15 Diperbarui: 9 Mei 2021   22:46 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Buku Muslimah Feminis merupakan karya dari Dr. Neng Dara Affiah M.Si. Beliau adalah salah satu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengajar di program studi Sosiologi dengan mata kuliah Metode Kualitatif. Di dalam buku ini terdapat empat bab, di antaranya:

  • bab pertama, membahas dirinya dan Etnisitas,
  • bab kedua, membahas dirinya sebagai seorang Muslim,
  • bab ketiga, membahas dirinya sebagai Perempuan, dan
  • bab keempat membahas dirinya sebagai Anak Bangsa

Neng Dara Affiah berasal dari Padeglang, Banten. Ia lahir pada April tahun 1970 dari Ibunya yang merupakan seorang guru agama dan Ayahnya yang merupakan pemimpin pesantren sekaligus juga merupakan pemimpin masyarakat. Penduduk di tempat tinggalnya hampir semua beragama Islam. Kalaupun ada yang Kristen, mereka adalah keluarga pendatang dari Ambon. Bisa dikatakan keluarga Neng Dara Affiah tinggal di daerah yang sangat kental keislamannya.

Dalam buku ini, diceritakan perjalanan panjang Neng Dara Affiah sebagai etnis Banten yang mengalami multiidentitas. Mulai dari identitas etnis, agama, gender, dan identitas negara yang mana hal-hal itu sanagat berpengaruh dalam kehidupannya. Berdasarkan pendapat Geertz, 'karena etnisitas adalah penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dan dari tanah itulah seseorang berasal.'

Neng Dara Affiah berasal dari keluarga yang taat beragama. Keluarganya menganut aliran Nahdlatul Ulama dan masyarakat di sekitarnya pun mempraktikkan peribadatan bercorak NU. Nahdlatul Ulama identik dengan membaca doa qunut saat salat Subuh, tahlilan, Maulidan (memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.), Rajaban (Isra Mi'raj), nujuh (peringatan tujuh hari orang meninggal, matang puluh (peringatan empat puluh hari orang meninggal), dan khaul (peringatan tahunan orang meninggal).

Saat Neng Dara Affiah berusia antara 7-10 tahun, hal pertama yang dipelajari mengenai dasar-dasar agama Islam adalah ia belajar membaca Alquran dengan mengenal huruf dan merangkaikannya. Beliau diajarkan oleh Ibu dan Neneknya, dari bagaimana cara mungucapkan huruf-huruf Alquran dan panjang-pendeknya sebuah lafaz diucapkan. Selain itu, ia juga belajar ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlak, hadis, sejarah Islam. Di samping sekolah formal, Neng Dara juga banyak membaca buku di rumah. Cerita-cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia dan cerita fiksi kontemporer adalah buku favoritnya. Selain membaca buku tentang Islam, ia juga membaca buku-buku yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Majalah Islam Panjimas membuka wawasan beliau tentang Islam dan dunia Islam. Semua bacaan itu memengaruhi cara pandangnya tentang Islam dan masalah-masalah sosial pada saat itu. Dalam usia yang masih sangat belia, ia memiliki kecenderungan paham teologi Wahabi yang mana paham ini menyerukan umat Islam kembali pada Alquran dan Sunnah serta menolak jenis tradisi yang dianggap bertentangan dengan Islam, seperti tahlialn, ziarah kubur, dan memuliakan guru-guru sufi atau ulama.

Setelah tamat sekolah dasar, Neng Dara melanjutkan sekolahnya ke pesantren Alquran di Serang. Di pesantren Alquran ini, ia merasa tidak betah karena sifat pengajaran yang doktriner, terbatasnya ruang gerak karena takut dosa, tertutup, dan jarang berinteraksi dengan laki-laki. Neng Dara pun memutuskan untuk keluar dari pesantren tersebut. Setelah keluar, ia pindah ke satu pesantren yang berada di Tasikmalaya.        Beliau betah di pesantren Tasikmalaya ini, ia pun sekolah di sini sampai lulus. Setelah lulus dari pesantren, Neng Dara memutuskan untuk kuliah di IAIN Jakarta. Ia memilih UIN Jakarta karena kiprah mahasiswa atau alumni perguruan tinggi ini sudah ia ketahui saat membaca majalah Panjimas. Neng Dara memilih jurusan perbandingan agama atas kemauan pamannya. Lingkungan kampus yang politis membuat ia netral dan memilih untuk bergabung dengan Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI). Di jurusan perbandingan agama, ia mendapatkan mata kuliah seperti Hinduisme, Budhisme, Kristologi, Konfusionisme, Sintonisme, dan lain-lain. Pelajaran terpenting dari agama-agama tersebut adalah belajar kearifan hidup yang disampaikan oleh para Nabi dan para arif bijaksana yang memimpikan sebuah dunia yang lebih baik dan damai yang jauh dari kemurkaan, keserakahan, dan konflik. Tetapi, keindahan dan kebaikan ajaran agama-agama tersebut seringkali bersebrangan dalam realitas penganutnya. Banyak bangsa, suku, kelompok masyarakat berperang dan bertikai karena penodaan agama dan banyak pula orang yang mengalami penderitaan tertentu hanya karena ia beragama tertentu.  

Neng Dara memiliki pengalaman manjadi minoritas saat ia menjadi pembicara di konferensi mengenai gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintas agama di Indonesia pada tahun 2000 di Finlandia. Selama di sana, ia bertemu dengan beberapa orang yang memiliki stigma bahwa Islam identik dengan poligami dan cadar untuk wanita. Maka dari itu, ia menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak melakukan stereotip-stereotip atas ras, agama, maupun bangsa dengan cara membuka mata, dialog untuk saling kenal, mendengar, dan memahami. Tetapi, ia pernah dibuat terkesan oleh Amerika saat menghadiri undangan program 'Ohio University Inter-Religious Dialogue and Exchange Project'. Di Amerika, kebebasan beragama telah dibentuk dengan sangat baik. Mereka sudah dewasa dalam menghadapi perbedaan agama karena mereka tahu bahwa agama adalah urusan masing-masing individu. Ia merasakan kebebasan beragama saat berada di sana. Amerika juga secara tegas memisahkan urusan negara dengan agama. Paham ini disebut sekularisme.

Sejak kecil ia diperlakukan seperti anak gadis seutuhnya, dalam arti seperti mengerjaan pekerjaan rumah seperti ibunya dan memiliki keterbatasan waktu bermain pada malam hari. Berbeda dengan kakak laki-lakinya yang memiliki kebebasan yang lebih daripada dirinya. Tidak heran kakak laki-lakinya di kuliahkan ke Mesir agar dapat menimba ilmu yang tinggi di sana. Berbeda dengan dirinya yang hanya dapat berkuliah di IAIN Jakarta. Tetapi, ia tetap bersyukur karena walaupun memiliki keterbatasan, ia diberikan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap ilmu sehingga ia tidak pernah patah semangat untuk belajar. Ia ingin menunjukkan bahwa perempuanpun bisa memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki.

Salah satu tokoh yang menginspirasi dirinya adalah neneknya, H. Masyitoh. Beliau adalah seorang muslimah feminis yang tidak pernah mengenal kata 'feminis' namun secara tidak sadar ia mempraktikan sikap feminis tersebut dalam kehidupan sehari-hari seperti kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Maka dari itu, semenjak kuliah ia semakin rajin untuk mengikuti diskusi dengan LSM yang membahas mengenai perempuan. Bahan tidak jarang ia memberikan diskusi tentang kesetaraan gender dan keadilan atas hak-hak perempuan. Atas kegiatannya tersebut tidak jarang ada cacian yang menyudutkan Neng Dara karena terlalu berteori kebarat-baratan. Tetapi hal tersebut tidak mematahkan semangatnya untuk selalu mengikuti diskusi-diskusi lainnya mengenai perempuan.

Penulis juga bercerita tentang Fatayat NU yang dikenal sebagai organisasi perempuan konservatif. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, organisasi ini berubah dari konservatif menjadi memiliki pandangan yang progresif. Perubagan ini terjadi pada tahun 1990 ketika Fatayat NU bersentuhan dengan apat yang disebut sebagai gerakan perempuan yang berperspektif gender, sebuah perspektif yang membongkar pemahaman lama tentang peran gender setidaknya dalam tiga hal. Pertama, pembongkaran terhadap "kodrat" atau sesuatu yang dipandang 'alamiah' bagi perempuan. Kedua, membongkar pemahaman lama tentang argumentasi pembagian kerja secara seksual. Ketiga, perspektif ini membuka ruang untuk menelusuri akar-akar sejarah sosial mengapa muncul subordinasi, marjinalisasi, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan seraya mengenali kekuatan diri untuk dapat mengorganisir kekuatan kolektif. Bagi Fatayat NU, analisis gender digunakan sebagai pisau bedah untuk melihat teks-teks keagamaan Islam terutama Alquran, Hadis, dan berbagai literatur hukum Islam dengan paradigma baru, terutama yang berkaitan dengan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Awalnya, konsep gender mengalami penolakan yang sanga keras dari sebagian besar kalangan kiai. Penolakan ini setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi. Pertama, konsep gender merupakan konsep asing (Barat) yang belum tentu sesuai dengan relasi gender dalam masayrakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Kedua, konsep ini dikhawatirkan merongrong ajaran Islam, terutama Islam yang dipahami oleh kalangan Nahdyiyyin. Ketiga, ada ketidaksiapan dari sebagian mereka dengan perubahan pola relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Namun, semua argumentasi itu berhasil ditepis oleh sejumlah intelektual dan ulama NU yang memiliki pemikiran yang progresif dan terbuka pada perubahan. Sejumlah nama yang bisa disebut di sini adalah Masdar F. Mas'udi, K.H. Husein Muhammad, K.H. Aqil Siradj, K.H. Abdurrahman Wahid, dan beberapa nama lain yang memberikan dukungan terhadap sejumlah perempuan NU yang berjuang untuk menegakkan keadilan antara laki-laki dan perempuan di tubuh Nahdlatul Ulama.

Dalam bab terakhir, penulis bercerita tentang Era Orde Baru. Neng Dara pernah mengalami kepemimpian Presiden Soeharto selama lebih dari tiga puluh tahun. 'Saat Soeharto berkuasa, kekuasaan berpusat pada tangannya. Ia seperti raja, tetapi hidup dalam negara yang memiliki konsep modern', Neng Dara mendeskripsikan Presiden Soeharto.  Pernah merasakan kepemimpinan Soeharto membuat Neng Dara tidak percaya pada para penguasa. Ia enggan memerhatikan kebijakan-kebijakan negara yang disampaikan pemerintah. Bagi dirinya, mereka (para penguasa) seperti para badut yang pintar berslogan, tetapi bukan pelayan atau wakil rakyat yang bisa dipercaya.  Neng Dara pun tidak ikut memilih wakil rakyat dalam Pemilu atau golput. Menurutnya, penyelengaraan Pemilu adalah upacara negara yang seolah-olah menyelenggarakan demokrasi, tapi hasilnya sudah dapat diduga. Saat rezim militer melemah, ia adalah orang yang bersemangat untuk mendorong gerakan mahasiswa dan bergabung dengan mereka saat menuntut pergantian rezim. Saat Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan, Neng Dara tak kuasa menahan tangis. Akhirnya, 'Bapak tua' itu pun menyerahkan kekuasaannya pada wakilnya, B.J. Habibie pada tahun 1998. B.J. Habibie menjadi Presiden masa transisi yang mempersiapkan terselenggaranya demokrasi sejati, maka pada Pemilu 1998, DPR memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakilnya. Ketika Gus Dur terpilih, Neng Dara tak kuasa menahan haru karena tokoh di mana ia pernah bekerja bersama dan menginspirasinya tentang wawasan Islam dan kebangsaan kini telah menjadi Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun