Mohon tunggu...
Rifki Ferdiansyah
Rifki Ferdiansyah Mohon Tunggu... Guru - bukan umar bakri

Teaching, Cycling, Browsing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bangunan Timpang Program Remedial

31 Januari 2020   20:33 Diperbarui: 31 Januari 2020   20:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Konsep tidak meninggalkan peserta didik di belakang mungkin sangat ideal dalam dunia pendidikan secara ril; terlalu ideal bahkan. Akan tetapi, filsofi tersebut dipakai di sistem pendidikan negeri ini. Kita mengenalnya dengan ketuntasan maksimal. Konsep ketuntasan maksimal tersebut melahirkan kegiatan remedial.

Lewat konsep ketuntasan maksimal ini, kriteria ketuntasan minimal dilahirkan. KKM menjadi standar dengan rujukan pada kompetensi dasar. Melalui KKM, peserta didik akan terklasifikasi menjadi tiga kelas; remedial, pengayaan, dan tuntas.

Pembagian tersebut didapat dengan melakukan analisis terhadap ujian atau tes yang diberikan pada peserta didik. Nilai KKM menjadi standar. Bawah KKM berarti kelas remedial. Menengah atas masuk ke pengayaan. Dan nilai sempurna menjadi tuntas maksimal.

Bila dulu, sebelum konsep ketuntasan maksimal muncul, remedial berarti nilai merah. Mendapat nilai remedial berarti dianggap belum mampu memahami pembelajaran. Mengalami kesulitan. Dan, anak dalam klasifikasi tersebut harus dibantu. Caranya, dengan memberi pelajaran tambahan baik mandiri atau klasikal.

Bagus kan konsep remedial tersebut!

Tetapi keadaan ideal dan realitas terjadi perbedaan. Disanalah munculnya masalah. Sama halnya dengan konsep remedial ini. Antara buah manis dari harapan idealnya tak berujung manis dalam realitas. Remedial menjadi sekadar alat kosong dalam proses pendidikan. Bahkan menjadi pisau bermata dua yang telah menikam pemiliknya.

Pada sebuah uji coba tes seleksi berbasis ICT, penulis mendapatkan pertanyaan bodoh berulang; "Berapa KKM nya pak? Ada remedialnya kan?"

Kenapa harus bertanya seperti itu? Apa pentingnya sebuah remedial bagi anak-anak itu, karena tes seleksi yang sebenarnya tak mengenal kesempatan kedua. Pilihannya cuma LULUS atau GAGAL.

Dan ternyata, pertanyaan seperti itu menjadi pertanyaan umum yang berulang. Menjadi biasa?

Bila melakukan kontemplasi, pertanyaan itu wajar muncul karena peserta tes adalah tamatan-tamatan institusi yang bernama sekolah. 9 tahun mereka berguru di sekolah dengan pelaksanaan remedial guna mengikuti konsep ketuntasan maksimal.

Memang, ini faktor pelaksanaan; bukan di filosofi remedial tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun