Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nabawi, Wisata Jiwa Universalis

16 Oktober 2012   05:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:47 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13503646491885361020

Haji bukanlah sebuah kegiatan wisata, melainkan ritual ibadah. Namun, di sela sela ritual haji, boleh dong kit aberwisata. Apalagi jika yang berwisata itu adalah jiwa kita unuk memukan kebaikan. Saat berhaji dua tahun lalu saya menikmati “wisata” jiwa itu di Mesjid Nabawi, Madinah sebelum beranjak ke Mekkah. Nabawi adalah tempat yang sangat asyik untuk berwisata hati dan jiwa karena di sana suasana sangat mendukung terciptanya kesyahduan. “Wisata” yang saya lakukan sangat gampang, yaitu dilakukan di sela menunggu solat berjamaah, selagi jeda berdzikir dan beribadah atau sewaktu perjalanan pergi ke atau pulang dari Mesid. Itulah kala mata, kepala, telinga dan perhatian saya “berwisata” berkeliling di sekitar tempat saya duduk dan menyaksikan, mempelajari, memahami dan menikmati beragam perangai, perilaku, sikap dan tindakan para jamaah haji yang datang dari berbagai negara. Perhatian awal tentunya tertuju ke bentuk fisik jamaah yang gampang terlihat. Seperti  jamaah pria yang berbendera Suriah dengan bentuk badan yang umumnya tegap dan garis wajah pria yang kentara atau jamaah Malaysia yang meskipun serumpun tetapi tetap bisa dibedakan. Sebaliknya jamaah Pakistan dan Bangladesh agak cukup sulit ditebak karena sama-sama memakai gamis panjang, jika saja tidak melihat janggutnya yang diberi pewarna berbeda. Mengamati budaya dari penampilan pun ternyata mengasyikan. Di sini mungkin kita inginnya tertawa karena ada sesatu yang lucu, tetapi langsung kita diingatkan bahwa itulah kergamana budaya. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Saya lalu asyik 'berwisata' ke Turki dengan melihat baju seragam jemaahnya yang terlihat antara seperti piyama atau baju perawat Rumah Sakit. Kemudian saya berkelana dari satu negara ke negara lain di belantara hitam Afrika, mulai Kamerun, Ghana, Pantai Gading dan negara suku kecil yang sepertinya budayanya cukup kompak dan seragam berupa jubah panjang menjuntai, baik itu modis dengan corak dan warna menyolok maupun seadanya dengan corak warna bendera atau tulisan nama negaranya. Sekonyong-konyong 'wisata' saya mendapat sedikit tambahan bumbu politik tak kentara namun membahagiakan. Serombongan jamaah berjalan ke tengah. Dengan pakaian berupa celana sepadu dengan jas khasnya, kepala saya langsung melesat ke Teheran. Pakaian yanh mereka kenakan mirip dengan yang dipakai Ahmadinejad. Itulah politik membahagiakan bukan, ketika ternyata ada sejumlah jamaah dari Iran, berhaji ke tanah suci yang sama, dan tanpa konflik. Itulah Islam. Universal bukan. 'Tensi politik' terlihat meningkat ketika jamaah dari sebuah komunitas etnis yang selama ini tidak mendapat tempat di peta dunia, ternyata berani menunjukkan jati diri. Itulah Kurdistan. Sementara itu “tensi” justru mendamai ketika komunitas muslim yang menjadi minoritas dan berjuang untuk independensi ternyata ikhlas memanggul nama negara besarnya: Cina. Yang seru dicatat dari 'wisata' ini adalah bagaimana kita harus memahami perbedaan budaya yang berbeda. Apakah kita bisa mengelola emosi tatkala kebanyakan jamaah Afrika seperti tidak tahu sopan santun dengan melompati bahu jamaah untuk mendapatkan saf depan atau dengan santai duduk seenaknya persis di depan kita? Padahal ternyata perklaku tersebut sepertinya juga tidak disukai oleh jamaah Afrika lainnya, baik itu senegara atau tidak. Atau bahkan ternyata perilaku demikian dilakukan juga oleh jamaah Cina - yang jika datang berombongan akan mengingatkan saya kepada pasukan Cheng Ho yang cekatan dan trenginas. Di Nabawi, jiwa universalis saya diasah juga ketika kita memiliki niat menyepelekan orang lain. Melihat jamaah Kurdistan yang lusuh, apalagi sadar dengan kondisi 'bangsa' yang 'miskin' - secara politis atau ekon0mis, apa saya tidak malu jika mereka dengan santai nongol berdiri di tengah penuhnya jamaah dan mengeluarkan hape terbaru dari saku dan dengan percaya diri berbicara lantang memberi petunjuk kepada temannya. Atau haruskah saya prihatin dan iba melihat jamaah dari sub benua India dengan paras yang sangat mendirita atau orang tua yang duduk persis di sebelah saya yang terlihat sangat sengsara dengan kaki hitam legamnya yang pecah pecah? Atau tidakkah saya malu jika lawan bicara di sebelah kita dari Bangladesh, yang wajahnya mengingatkan saya akan mandor yang merenovasi rumah sehingga nyaris saya berbicara seperti dengan mandor. Ternyata teman duduk sebelah saya adalah seorang PhD atau Doktor yang sederhana? Ah, ternyata perjalanan haji bukanlah melulu sebuah ibadah ritual. Banyak   aktivitas 'wisata' yang bisa lakukan untuk memberi kekayaan jiwa. Dan di Nabawi, jiwa universalis saya ditempa. Egoisme saya diasah, dan kesadaran saya dibina: ternyata ada orang lain di luar diri kita. Dengan menyadari ada orang lain di luar diri kita, akan membawa kita lebih menghargai perbedaan dan menempatkan perbedaan sebagai rahmat. Terima kasih Ya Allah yang telah memberi saya tiket berwisata jiwa - yang ternyata tiket wisata itu tersedia di mana saja. Asal kita mau mencarinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun