Minggu, 14 Agustus kemarin, saya berkesempatan mengikuti Tur Napak TIlas Kemerdekaan yang diadakan Komunitas Koteka bekerja sama dengan Wisata Kreatif.
Dari awal, saya memang beneran ingin ikut. Alasan utamanya ingin mengajak anak bungsu yang baru masuk SMP yang suka dengan pelajaran sejarah. Interest dia besar sekali kalau diajak ke museum.
"Ini yang Ade baca di buku pelajaran".
Kalimat seperti itu yang membuat saya bahagia dan antusias mengikuti acara ini. Terlepas juga dengan kenyataan "menyedihkan" jika sebenarnya ayahnya itu belum pernah sekali pun mengunjungi ketiga lokasi acara: Gedung Juang 45, Gedung Perumusan Naskah Proklamasi dan Tugu Proklamasi.
Selama mengikuti acara, ada beberapa pertanyaan yang muncul di kepala dan langsung ditanyakan saat itu juga. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan cenderung sambil lalu, ringan dan bisa jadi terkadang mengejutkan dan tidak siap dijawab. Pertanyaan itu mendasar atau polos.
Saking polosnya, bahkan saat pertanyaan diajukan, anak saya sampai mepet dan nyubit: "Ih Ayah". Bagi dia, bisa jadi pertanyaan itu membuat malu ayahnya dan dia sendiri. Tapi, ya gitu, lebih baik ditanya kan? Malu bertanya sesat di mana-mana .....
Inilah beberapa pertanyaan menggelitik itu.
1. Bu Tien Soeharto itu udah jadi pahlawan toh?
Karena titik kumpul acara adalah di Gedung Juang 45, otomatis dong pertanyaan menggelitik pertama tentunya terkait yang ada di dalam gedung itu.
Tepatnya sih bukan di dalam, tapi di luar - di pelataran depan. Di mana terpampang foto-foto para pahlawan beserta nama-nama. DI bagian atas dari papan informasi itu, terlihat foto-foto pahlawan perempuan.
"Tahu gak, dari seluruh pahlawan yang kita punyai, ternyata hanya ada 12 saja Pahlawan perempuan", begitu kira-kira kata Mbak Ira Latief, yang menjadi guide kita saat itu.
Beliau menambahkan bahwa angka itu bertambah satu, setelah tempo hari seorang perempuan lain dianugerahi gelar pahlawan: Laksamana Keumalahayati. Laksamana Laut Perempuan pertama Indonesia.
Satu sosok di foto yang menarik perhatian saya adalah Bu Tien Soeharto. Istri mantan Presiden Soeharto.
Terus terang saat itu saya agak kaget saja. Mungkin, saya termasuk orang yang kudet, kurang apdet. Atau logika saya yang terlalu polos. Iya, biasanya kan yang jadi pahlawan itu yang meninggalnya sudah lama. Atau mereka-mereka yang berjasa pada saat perjuangan kemerdekaan.
Sepengetahuan saya, Bu Tien baru berperan saat mendampingi mantan Presiden Soeharto, yaitu di kisaran di atas 1965an.
Dari penulusuran berita media, akhirnya saya mendapat informasi bahwa Bu Tien diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto, tiga bulan setelah beliau meninggal, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang sangat luar biasa melawan penjajah kolonial Belanda pada umumnya. Sila cek Mbah Gugel
Kebangetan nih saya sampai kudet gini.
2. Jenderal Sudirman itu beneran Jenderal atau sebutan dan penghargaan?
Saat masuk ke bilik di mana terdapat replika tandu, kita peserta langsung tahu bahwa itu tandunya Jenderal Sudirman.
Ingat dong kalo saat berjuang, beliau menjalankan pimpinan dari atas tandu, berhubung beliau sedang sakit. Dan sakitnya itulah yang membuat beliau wafat di usia yang masih dibilang cukup muda.
Pertanyaan polos muncul saat itu. Apakah nama "Jenderal" itu adalah sebutan kepangkatan resmi / karir militer atau cuman sebagai penghargaan?
Pertanyaan itu muncul ketika saya tiba-tiba berpikir kalau saat itu organisasi ketentaraan juga belum atau belum lama terbentuk. Lalu, apakah dalam waktu singkat seseorang bisa meniti karier secepat itu?
Jawabannya sih bisa ditemukan di beberapa situs. Salah satunya bercerita bahwa beliau menjadi Panglima Divisi V dengan pangkat Kolonel dan di tahun 1945 diberi pangkat Jenderal oleh Presiden Soekarno. Masuk akal jika istilahnya pangkat itu diberi, karena kondisi negara baru merdeka dan kita membutuhkan figur-figur yang disegani dihormati dan jelas pengabdiannya.
Btw, Jenderal Soedirman adalah salah satu dari tiga orang yang memiliki pangkat tertinggi: Jenderal Besar bintang lima. Tahukah siapa dua orang lainnya?
3. Bu Fatmawati dicerai dahulu sebelum Presiden Soekarno menikah lagi?
Di satu area di mana terdapat tempat duduk yang cukup panjang, kita mendengarkan paparan Mbak Ira Latief, sang guide. Saat itu beliau bercerita tentang istri Presiden Soekarno.
Bu Inggit Garnasih. Istri pertamanya, eh istri kedua deng. Yang berjasa mendukung Soekarno muda dalam berjuang menuju kemerdekaan.
Cerita sejarah itu kemudian berkembang menjadi obrolan "gossip" sejarah. Terutama ketika bahasan memasuki penggalan cerita jika Presiden Soekarno mau menikah lagi dengan Bu Fatmawati.
Kala itu Bu Inggit menolak untuk dimadu, dan memilih meminta untuk diceraikan. Saya baru tahu juga sih ternyata Bu Fatmawati itu adalah teman bermainnya Ratna Juwami, putri Bu Inggit.
Nah, jika Bu Inggit memilih meminta cerai daripada dimadu, lalu apakah Bu Fatmawati pun memilih meminta cerai ketika Presiden Soekarna meminta ijin menikahi Hartini?
Namanya obrolan jadinya ngalor ngidul dengan berbagai versi skenario. Sampai ada yang berpendapat bahwa itu karma Bu Fatmawati.
Tapi jika membaca beberapa sumber berita di internet, Bu Fatmawati ternyata tidak meminta cerai ya? Beliau memilih menyisih. Sumber lain menggunakan kata memilih "minggat dari istana".
4. Nopol Mobil Pribadi Presiden Soekarno itu kok sudah ada huruf "B". Baru dibikin sekarang-sekarang?
Ketika kami berhenti di halaman belakang, ada satu bangunan tertutup pintu kaca berisi dua buah mobil. Salah satu dari mobil itu menarik perhatian saya.
"Kok itu nomor polisinya sudah menggunakan huruf "B" buat Jakarta?"
Pikiran polos di kepala mengasumsikan bahwa nomor polisi baru digunakan sekarang-sekarang ini adalah hasil dari pengorganisasian kendaraan secara modern. Apalagi ini terkait dengan kerapian dokumentasi, perijinan dan pajak. Pikiran simpel berkata bahwa mana mungkin saat itu sudah ada STNK dan urusan pajak, kan?
Ternyata, penomoran kendaraan dengan menggunakan huruf di depan itu sudah ada sejak jaman "tai kotok dilebuan", istilah Sunda dari "jadul", "masa kolonial".
Konon, menurut beberapa sumber, huruf-huruf yang dipakai itu berawal ketika Inggris merebut Jakarta dari kekuasaan Belanda. (Ooooh, berarti penjajah Indonesia itu gak hanya Portugis, Belanda dan Jepang toh?).
Nah, kolonial Inggris itu menerapkan peraturan berkendaraan, di mana setiap kereta kuda diberi kode huruf tertentu.
Tiap daerah memiliki kode tertentu tergantung dari Batalyon Inggris mana yang menguasai daerah itu. Seperti halnya Jakarta atau Batavia dulu ditaklukkan oleh Batalyon B.
Gitu cenah ceritanya. Bisa ditanya lebih jauh nih ke ahli sejarah.
5. Siapakah pasukan pengibar bendera di Tugu Proklamasi itu?
Tentunya pertanyaan konyol ini tidak ditujukan ke sejarah silam. Lha wong saat itu pastinya belum ada Tugu Proklamasi toh. Pertanyaan itu valid jika ditanyakan "siapa pengibar bendera di Pegangsaan Timur 56?".
Meski ya, sebenarnya sih lokasi Tugu Proklamasi itu adalah lokasi pembacaan proklamasi oleh Soekarno - Hatta di tahun 1945. Masalahnya, bekas kediaman Presiden Soekarno yang halamannya dipakai pengibaran bendera itu, sudah tidak bersisa. Sudah dihancurkan. Sejak 1960. Konon atas permintaan Presiden Soekarno sendiri.
Nah kembali ke pertanyaan menggelitik, siapakah anak-anak muda yang sedang latihan mengibarkan bendera di Tugu Proklamasi yang ditemui saat kami berkunjung ke sana?
Apakah mereka adalah pelajar-pelajar pilihan dari beberapa sekolah?
Itu juga yang saya tanyakan kepada tiga orang ibu-ibu yang berada di sana. Saya tanya karena gestur mereka sepertinya mengabarkan bahwa mereka adalah "pembina atau pelatih anak-anak itu".
Ternyata jawabannya mengharukan.
Mereka - anak-anak itu - adalah keturunan langsung dari para pejuang-pejuang yang terlibat di peristiwa pengibaran bendera di tahun 1945 itu. Para pejuang yang bisa jadi tidak mentereng membawa simbol sebagai pahlawan.
Para pejuang yang bisa jadi namanya pun asing di telinga. Para pejuang yang bisa jadi saat itu hanya ikutan hadir saat pengibaran, tetapi sebenarnya di belakang itu mereka adalah tetap pejuang.
Mereka - atau kakak sodara dan kerabat, ternyata tiap tahun sudah terlibat dalam upacara bendera di tempat itu. Tugu Proklamasi. Hanya saat awal pandemi saja, upacara itu hanya dihadiri tiga orang (?), dan tahun kedua pandemi dihadiri sangat terbatas.
Alhamdulillah, sekarang mereka bisa melakukan kegiatan rutin itu lagi secara hampir penuh, meski dibatasi hanya 75% dari kapasitas biasanya.
Duh, ada rasa haru dan bangga melihat anak-anak itu berbahagia saat berkemas pulang dengan membawa paket baju-baju pakaian formal putih yang akan mereka pakai saat upacara besok.
Mereka yang bisa jadi generasi kedua dan ketiga dari para pejuang itu, bersama orang tuanya yang diwakili oleh tiga ibu generasi pertama - yang berfoto bersama ini - akan merasakan romantisme nostalgia dengan cara elegan seperti ini.
Bravo.
Aniwei, trip dari Komunitas Koteka dan Wisata Kreatif Jakarta yang tepat waktu menyegarkan ingatan akan sejarah kemerdekaan.
Keren.