Mohon tunggu...
Rifki Feriandi
Rifki Feriandi Mohon Tunggu... Relawan - Open minded, easy going,

telat daki.... telat jalan-jalan.... tapi enjoy the life sajah...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kala Kehangatan dan Aromaterapi Menyatu Dalam Rasa Ibu

6 November 2016   23:17 Diperbarui: 7 November 2016   06:36 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kehangatan dan aroma jadi satu | Foto: Kompasiana

“Yah, balur”. Suara manja si Ade – bungsu enam tahun, memecah konsentrasiku saat menonton demonstrasi 4 November di televisi. Dia bergegas mendekat. Kaosnya dia angkat sedikit, sampai terlihat udelnya. Juga perutnya yang masih unyel-able. Biasa. Itu tandanya dia sakit perut, tapi belum saatnya BAB, dan meminta ayahnya untuk mengurangi sakitnya.

“Ambil kayu putihnya!”, kataku. Dia lalu beranjak ke kamarnya, dan kembali dengan botol kecil hijau. Saya membukanya, menuangkan beberapa tetes minyak kayu putih ke telapak tangan dan mengusap-usap di tangan sendiri. Lalu, saya oleskan minyak kayu putih di tangan saya ke perut si Ade, terutama bagian sekitar udelnya. Seringnya, saya lakukan itu juga dengan diiringi do’a kesembuhan sederhana yang diajarkan orang tua dulu.

“Allahuma robbanas azhibil ba'sa isfyhi wa anta syafii laa syifa'an ila syifa 'uka syifa'a laa yughodiru saqoma”.

“Sembuh! Insya Allah”, kata saya sambil menurunkan kembali baju si Ade sehingga menutup badannya lagi. “Nih, hirup bentar”. Itu biasanya kata penutup saya, meminta si Ade menghirup telapak tangan yang masih harum dengan aroma minyak kayu putihnya.

Kejadian seperti itu adalah sebuah rutinitas saya sebagai seorang ayah saat si kecil membutuhkan. Entahlah. Tanpa diajari, saya ternyata mengikuti langkah-langkah yang dilakukan istri saya, ibunya si Ade, saat si Ade sakit perut. Padahal, ayahnya si Ade termasuk seseorang yang jarang sekali memakai kayu putih (demikian saya menyebutnya, tanpa menggunakan kata “minyak” yang terkesan selalu berpadanan dengan “sinyongnyong”). Standar lah alasannya. Bau. Gak panas. Gak cowok banget. Halah. Sebaliknya, si Ibu – istri saya, justru pemakai minyak kayu putih garis keras. Setia, pake banget. Lengketnya istriku dengan kayu putih melebihi lengketnya dia dengan suaminya. Eaaaa.

Kayu Putih? Ya Cap Lang

Demi menggali alasan dibalik lengketnya istriku dengan botol hijau itu, meski sebenarnya saya sudah mendapatkan jawaban sporadis di banyak kesempatan selama hampir usia pernikahan (eh, 20th aniversary tanggal 10 Nov ini loh… siul-siul), saya mewawancarai dia tadi sore. Seperti biasa, saya menggunakan panggilan “Ayah” dan “Ibu” dalam percakapan ini, seperti yang digunakan keseharian.

Sejak kapan sih Ibu pake kayu putih? Sejak mengandung si Kakak, ya?(Kakak adalah panggilan anak pertama yang bertaut usia jauh dengan si Ade)

Ih Ayah. Ibu sudah pakai kayu putih sejak dulu lagi. Sejak SMA Kelas 1. Tiap habis mandi pasti pakai kayu putih.

Emang kenapa?

Ya enak saja, anget. Bandung saat itu kan dingin Yah. Ibu pake juga kalo lagi biduran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun