Mohon tunggu...
rifkaanggraeni
rifkaanggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa dari program studi Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pancasakti Tegal. Saya memiliki hobi membaca buku dan mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Usulan Penghapusan Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Langsung : Efisiensi Biaya atau Sebuah Tantangan Bagi Kita?

28 Juni 2025   18:00 Diperbarui: 28 Juni 2025   17:37 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wacana penghapusan Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung kembali mencuat. Hal ini menimbulkan pro kontra, tidak hanya di masyarakat, namun juga dikalangan pemerintah. Sistem pemilihan secara langsung banyak dianggap terlalu mengeluarkan banyak anggaran, serta sistem politik uang yang semakin menjadi-jadi. Namun usulan lain yaitu pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti sebelum era reformasi juga memiliki efek atau dampaknya sendiri.

Ditinjau dari banyaknya biaya yang dikeluarkan, Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung memang lebih banyak memakan biaya daripada Pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Diperkirakan anggaran yang dibutuhkan pada setiap periode mencapai miliaran rupiah. Sedangkan Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD secara singkat terlihat memotong anggaran. Namun nyatanya, Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, biaya politik paling tinggi justru untuk mahar politik yang diberikan para calon kepada partai-partai politik yang mengusungnya. Lucius menyebut mahar politik ini sangat menyedot kantong para calon, tak ada harga pasaran yang jelas, dan sangat fluktuatif dalam waktu singkat. Lucius menilai justru lebih banyak uang yang dihabiskan jika sistem Pemilihan Kepala Daerah diubah menjadi tidak langsung. Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) justru akan lebih tertutup dan mengandalkan orang berduit untuk bisa maju. “Dengan situasi parpol yang makin malas melakukan kaderisasi, lalu akhirnya memungut orang-orang yang punya potensi untuk diusung jadi calon kepala daerah,” ujar beliau.

Menurut saya pribadi, anggaran besar yang dikeluarkan demi melaksanakan demokrasi dengan adil dan jelas tidak bisa disebut pemborosan atau menyia-nyiakan dana yang ada. Apalagi kita hidup dalam tatanan demokrasi, yang berarti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam segala penyelenggaraan negara, seperti pengambilan keputusan di Pemilihan Umum.

Melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung merupakan bentuk memenuhi hak masyarakat sebagai pemegang tertinggi kekuasaan. Sistem ini memberi peluang bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan siapa yang pantas serta berhak memimpin ataupun mewakili mereka. Mungkin sistem ini masih kurang sempurna atau bahkan masih banyak kurangnya, seperti politik uang, kandidat yang hanya dikenal karena popularitasnya, kampanye hitam, kurangnya pengetahuan politik sehingga partisipasi masyarakat rendah. Tapi tidak harus diganti atau dihapus, sistem ini bisa bersama-sama dibenahi. Dalam prosesnya seperti, memperbaiki syarat-syarat seleksi para calon kepala daerah, memperketat pengawasan penyelenggaraan, adanya transparansi dana pemilihan, meningkatkan literasi dan pengetahuan politik pada masyarakat, serta diciptakan peraturan ketat bagi para pengusung calon dari berbagai partai politik. Cukup dibenahi dengan sungguh-sungguh, maka memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efisien dan efektif.

Namun jika hal seperti hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memilih kepala daerah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka tidak semua terwakilkan. Bisa saja pemilihan tersebut berjalan tidak adil dan memprioritaskan kelompok elite politik tertentu seperti yang dijelaskan oleh Lucius Karus diatas. Politik menjadi urusan segelintir elite, bukan lagi hak bagi setiap warga negara. Rakyat kehilangan kendali atas siapa yang memimpin mereka.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung memang terlihat efisien dari segi anggaran, tapi ada perlunya sebelum menghapus itu, kita bertanya-tanya, apakah kita siap untuk kehilangan hak dan menggerus partisipasi masyarakat? Apa kita mau suara rakyat hanya menjadi formalitas dan sewaktu-waktu disalahkan atas tidak berjalan baiknya suatu kepemimpinan? Pemilihan secara langsung melibatkan masyarakat berarti tanda bahwa sebuah negara itu mampu melaksanakan sistem demokrasi yang sehat.

Inilah tantangan bagi kita, menghapus atau mempertahankannya. Efisiensi biaya hanyalah kalimat klasik. Demokrasi tidak bisa kita ukur dengan angka. Pemerintah seharusnya bisa lebih fokus pada solusi dan mau membenahi sistem-sistem yang berjalan dengan kurang baik. Hal ini juga menjadi kesempatan bagi kita semua untuk mempertahankan, memperkuat demokrasi dari yang paling dasar. Sebuah sistem dapat diperbaiki, tapi hak rakyat seharusnya tidak dikurangi. Jika kita benar-benar mau memperbaiki dan membangun kembali demokrasi yang sehat, maka kita harus berani membenahi dan memperbaiki sistem yang ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun