Mohon tunggu...
Danadyaksa Rifat Ramadhan
Danadyaksa Rifat Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum Universitas 17 Agustus Surabaya

Mahasiswa Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Negara, Sound Horeg, dan Wajah Demokrasi Kita

3 Oktober 2025   19:52 Diperbarui: 3 Oktober 2025   19:52 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena sound horeg, sebuah subkultur audio yang menggetarkan tanah dan membelah udara telah memicu respons sigap dari negara. Lahirnya tiga produk hukum, yakni Fatwa MUI Jawa Timur, Kesepakatan Bersama Forkopimda Banyuwangi, dan Surat Edaran Bersama Forkopimda Jawa Timur, merupakan manifestasi intervensi negara dalam mengatur riak sosial yang muncul. Pertanyaannya kemudian, apakah tindakan regulasi ini merupakan cerminan proses demokrasi yang sehat, atau justru sebuah langkah represif yang membatasi ekspresi?

Jika kita membedahnya, pembentukan ketiga norma ini justru merupakan bagian esensial dari kerja demokrasi. Demokrasi pada hakikatnya bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan sebuah sistem yang mengatur bagaimana kebebasan individu dapat hidup berdampingan secara harmonis. Dalam kasus ini, terjadi benturan antara hak berekspresi dan berusaha bagi para pegiat.

Sound system dengan hak masyarakat luas untuk mendapatkan ketenangan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang layak. Di sinilah negara, melalui aparaturnya, menjalankan fungsi krusialnya sebagai mediator dan penegak kontrak sosial.

Pendekatan yang diambil pun menunjukkan adanya proses yang deliberatif, bukan instruksi otoriter satu arah. Keterlibatan berbagai elemen menjadi buktinya. Pertama, Fatwa MUI Jawa Timur hadir sebagai landasan moral dan spiritual, merespons kegelisahan masyarakat dari sudut pandang agama. Ini menunjukkan bahwa negara peka terhadap nilai-nilai yang hidup di tengah mayoritas penduduknya. Kedua, Kesepakatan Bersama di Banyuwangi adalah contoh konkret demokrasi lokal yang bekerja. Forum ini melibatkan pimpinan daerah hingga kepala desa, menunjukkan bahwa aturan dirumuskan dengan mempertimbangkan konteks dan kondisi wilayah setempat. Ketiga,  Surat Edaran Bersama tingkat provinsi menyediakan kerangka hukum yang lebih terstandardisasi, menetapkan batasan desibel yang terukur dan prosedur perizinan yang jelas. Penting dicatat, regulasi ini tidak memberangus sound horeg hingga musnah. Sebaliknya, ia mengatur agar ekspresi ini dapat tetap eksis dalam koridor yang beradab: ada batasan waktu hingga pukul 22.00 WIB , batasan kebisingan, dan kewajiban menjaga norma kesopanan.

Pada akhirnya, tindakan negara ini adalah penegasan bahwa tidak ada hak individu yang absolut. Hak untuk berpesta dengan audio menggelegar berhenti ketika ia mulai meretakkan dinding rumah tetangga, mengganggu ibadah, atau membahayakan kesehatan pendengaran anak-anak. Regulasi ini adalah upaya menemukan titik keseimbangan (ekuilibrum) antara kebebasan dan ketertiban. Ini adalah demokrasi dalam praktiknya. Melindungi hak setiap warga negara, baik hak minoritas untuk berekspresi maupun hak mayoritas untuk hidup dengan damai. Oleh karena itu, pembentukan norma hukum ini bukanlah antitesis dari demokrasi, melainkan perwujudannya yang paling nyata dalam menjaga keutuhan tenun sosial masyarakat. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun