"Asih, masuk!" teriak si boncel pitam. Perempuan itu bergeming. "Masuk kataku, atau.." Setengah berlari perempuan itu masuk ke salah satu kamar. Si boncel menyilangkan jari telunjuk di dahi. Artinya perempuan tadi miring atau kurang. Sebelum naik ke lantai dua, si boncel meyakinkan, kalau kami perlu apa-apa, panggil saja dia atau sebut saja nama Kasip. Lalu dia ke luar rumah, dan tak datang lagi.
"Kau yakin kita bermalam di sini, Syah?" ejek Dan.
"Mau ke mana lagi?"
"Aku pastikan kita cuma semalam berada di losmen ini. Besok kita harus angkat kaki !" Mar  menjerit mengakhiri kalimatnya. Dia memelukku. Sebuah kepala berlumuran darah, jatuh di dekat kakinya.
"Gitu aja penakut!" Eh ternyata itu ulah perempuan tadi. "Kepala boneka itu dia ambil. Lalu tertawa seperti kuntilanak.
"Pulang saja, yok?" Â rayu Mar. Aku bersikeras bertahan di losmen ini hingga fajar tiba. Masih takut-takut, Mar mengekoriku ke kamar bernomor tiga belas.
Urusan kamar nomor tiga belas ini sebenarnya cukup ganjil bagiku. Paling banter hanya ada tiga kamar di losmen ini. Apa urgensinya sehingga ada yang bernomor tiga belas? Tapi melihat Dan menguap beberapa kali, aku akhirnya membuka pintu kamar. Hawa apek menyergap. Sebuah benda bulat panjang mirip pocong, menghantam kami. Mar hampir pingsan dibuatnya. Aku merutuk karena keisengan orang menggantung sebuah guling bersarung putih di belakang daun pintu. Peralahan aku menurunkan guling itu, lalu menutup pintu rapat-rapat.
Tanpa melepaskan sepatu, kami langsung melompat ke atas kasur. Saat itulah jeritan kesal mengoyak malam. Suara itu berasal dari kamar di sebelah kamar kami. Suara sesuatu yang pecah mengiringi. Disusul suara perempuan marah-marah, diakhiri bentakan keras seorang lelaki. Jeritan itu berubah tangisan.
Kami sempat menguping pembicaraan mereka. Kata-kata "gila, stress, obat, tumbal nyawa, hantu" mewarnai keributan itu. Tumbal  nyawa dan hantu membuat kami bergidik. Si lelaki mengatakan dia sudah berhasil mendapatkan calon korban persembahan untuk hantu. Agar perempuan  itu sembuh dari gilanya. Nyawa lelaki itu akan menjadi persembahan terakhir. Selanjutnya ada bisik-bisik bahwa calon korban bernama Syahmardan.
Ini tidak bisa dibiarkan. Rencana pembunuhan  harus digagalkan. Apakah ada lelaki bernama Syahmardan di losmen ini? Kami harus memberitahukannya agar dia bisa selamat. Polisi juga mesti tahu keadaan ini. Tapi kami merasa risih, seolah ada puluhan pasang mata menempel di dinding. Kami menjerit ketika pintu kamar terbuka lebar. Si cebol menodongkan senjata laras panjang ke arah kami. Katanya, "Kalian melihat seekor tikus masuk ke mari?"
"Ti-tidak!" jawab kami bertiga berbarengan. Kami curiga si cebol hanya pura-pura. Dia seperti tahu kalau rencana membunuh Syahmardan itu akan kami gagalkan.