Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jailangkung

23 September 2019   12:32 Diperbarui: 23 September 2019   12:40 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: kapanlagi.com

Angin semilir berhembus, meliukkan cahaya teplok. Terdengar sayup-sayup lolong anjing. Dingin amat mengigit. Suasana amat membuat ngeri.

Tiga lelaki itu semakin merapatkan sarung. Sesekali menyelinap rasa takut di hati mereka. Apalagi melihat daun pisang melambai seperti tangan puluhan hantu. Kalau bukan karena  rasa penasaran yang tinggi, mereka memilih bernyanyi-nyanyi di lapau sampai suara serak. Tapi sesuatu yang akan mengguncang adrenalin, memaksa mereka untuk bermain.

Jaja berulangkali mengajak dua temannya mengurungkan niat gila itu. Tapi, suara si besar Ris, mematahkan ajakannya. Kapan lagi menyerempet hal menyeramkan, kecuali malam itu. Setelah dukun santet meninggal sembilan jam yang lalu. Dan malam ini adalah malam Jum'at Kliwon. Persis pula besok adalah tanggal tiga belas.

"Hanya orang penakut yang tak mau mengambil kesempatan ini."

Satia telah merampungnya pekerjaannya, mendandani senduk kelapa. Senduk kelapa itu diletakkan di atas bakul dari bambu. Dia diberi tangan dari sebilah bambu melintang. Dipakaikan daster bekas berwarna ungu. Pun lengkap dengan rambut dari jerami. Tak lupa diikatkan spidol di ujung sebilah bambu melintang itu.

"Selesai sudah. Merapatlah! Siapa yang memanggil?" tanya satia. "Semua harus bekerja. Aku sudah mendandani si jailangkung ini. Ris pula yang menyiapkan seluruh barang, juga ayam panggang agar perut kita tak kedinginan. Sekarang tugasmu bernyanyi, Ja! Jangan fals, ya! Jailangkung tak suka suara fals." Mereka kemudian bersila membentuk lingkaran. Si jailangkung mereka angkat. "Jangan sampai jatuh, betapa pun goyangannya hebat."

"Tapi, jangan aku yang bernyanyi." Jaja terlihat ketakutan.

"Bernyanyilah, Ja! Kalau tidak aku hebohkan di kampung, bahwa kau ini lelaki penakut."

Angin semilir kembali berhembus. Cahaya teplok semakin kencang meliuk. Lolong anjing bertambah menyayat. Menurut kakek Ris, lolongan seperti itu mengabarkan, mereka melihat setan berkeliaran.

Jaja mengambil napas dalam-dalam. Dia gemetar melihat si jailangkung. Ingin dia mencampakkan benda sialan itu. Tapi, mencampakkan artinya harus bersedia digumul Ris sampai menjadi kornet.

"Ayo, cepat! Banyak nyamuk, nih!" geram Ris.

"Jailangkung, Jailangkung. Di sini ada pesta kecil. Pestanya kecil-kecilan. Datang tak dijemput. Pulang tak diantar." Setelah Jaja bernyanyi, tetap tak ada perubahan. Dia kemudian bernyanyi sampai  tiga kali. Sekonyong keranjang terasa berat. Jailangkung seperti akan terhempas. Ris mengingatkan jangan sampai Jailangkung terhempas.

Satia mengambil kertas. "Pak Jailangkung. Kami ingin kenalan. Siapakah namamu?" Spidol bergerak acak, menuliskan kata; san. Satia gemetar. "Apakah san itu maksudnya Sancang?" Spidol itu kembali bergerak menuliskan kata; Sancang.

Tiga lelaki itu saling bersitatap. Sancang itu adalah nama dukun santet yang beberapa jam lalu meninggal. Spidol bergerak lagi menuliskan kalimat; kalian menggangguku. Agak lama  spidol terdiam. Keranjang bertambah berat. Si jailangkung bergoyang hebat. Kemudian spidol bergerak lagi menuliskan kalimat; apakah kalian ingin aku santet?

"Lari!!!" Jaja menghempaskan keranjang, berlari menuju kampung. Ris dan Satia berlagak pemberani.

"Sekarang kita buktikan, apakah dia memang si Sancang."  Ris mencoba tersenyum.

"Bagaimana cara melihatnya?"

"Kau renggangkan kaki, kemudian menunduk serendahnya sampai kau melihat apa yang ada di seberang selangkanganmu."  Ris memperaktekkan apa yang dia ucapkan.  Tiba-tiba mereka melihat seorang tua dengan senyum menyeringai berada di belakang jaliangkung. Kontan saja dua lelaki yang berlagak pemberani ini tunggang langgang. Si tua itu adalah Pak Sancang.

Akan hal Jaja, langsung mengarah rumahnya. Pilihannya akan segera tidur. Dia berharap kalau terbangun besok pagi, dia ternyata hanya mimpi buruk. Tapi, sepuluh meter dari pintu rumahnya, iring-iringan yang mengusung keranda berbalut kain hitam, melintas. Siapa kiranya yang meninggal?

"Bapak-bapak, siapa yang meninggal?" tanyanya ketakutan.

"Pak  Sancang!" jawab mereka serempak. Berbarengan dengan itu, keranda terbuka. Pak Sancang muncul dari dalam keranda sambil tertawa ngakak. Sontak si Jaja tersungkur tak sadarkan diri.

Sementara Ris dan Satia berlari ketakutan menjauhi kampung. Karena kelalahan, mereka berhenti di depan sebuah rumah beratap ijuk.  Suasana sunyi mencekam. Saat menatap rumah itu, sadarlah mereka bahwa rumah itu kepunyaan Pak Sancang. Mereka ingin berlari sekencang-kencangnya. Tapi, tubuh mereka seakan tak mau diajak bergerak. Terdengar lamat derit pintu rumah itu. Sedepa demi sedepa, pintu itu terkuak. Ketika pintu terbuka lebar, mereka melihat Pak Sancang sedang berdiri tegak sambil memilin-milin kumisnya. Sontak saja, kedua lelaki ini tersungkur pingsan.

Beberapa hari setelah itu, orang kampung heboh karena kehilangan Ris, Satia dan Jaja. Mereka mencari ketiga lelaki itu sampai ke tengah hutan. Alangkah terkejutnya mereka tatkala menemukan Ris, Satia dan Jaja, pingsan di seberang jailangkung.

"Pak Sancang, ini orang itu."

Pak Sancang kemudian membangunkan tiga lelaki pingsan itu. Ketika mereka tersadar, mereka pingsan lagi manakala melihat siapa yang ada di hadapan mereka. Kelak setelah meraka sadar,  dan sudah berada di kampung, tahulah mereka bahwa yang dikabarkan meninggal beberapa hari lalu itu bukanlah Pak Sancang, melainkan istrinya.

Sejak saat itu seluruh warga kampung dilarang lagi bermain dengan jailangkung. Tapi, orang tak tahu, Pak Sancang sering memanggil istrinya setiap malam Jum'at kliwon, dengan mediator jailangkung.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun