Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kacamata Kehidupan

22 September 2019   22:46 Diperbarui: 23 September 2019   10:10 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Setelah kabut asap begitu apik menyimpan bulan, malam benar-benar berhemat urusan cahaya. Hanya lampu jalan dan warung kopi yang memberitahukan malam ini masih ada aktifitas.

Saya tiba di halte bus sekitar pukul 23.00 WIB. Pekerjaan menumpuk di kantor, membuat saya semaput. Belum semua pekerjaan itu berhasil saya selesaikan. Masih ada setengah lagi yang harus dikebut dari besok pagi hingga senja. Bila tak selesai, bos pasti memberondong saya dengan amarahnya.

Beberapa orang menyusul saya masuk ke dalam halte. Kondisinya sama seperti saya. Orang-orang berwajah pucat karena lelah bekerja. 

Mereka berjalan tertunduk-tunduk. Seolah ada batu yang sangat berat menggantung di leher mereka. Seorang lelaki duduk di sebelah saya, nyaris tanpa gairah. Dia menghembuskan napas panjang. Saya cemas dia tak akan sanggup menariknya kembali, kalau saja dia tak terbatuk. Setelah meregangkan kaki, dia menatap saya.

"Bagaimana pekerjaan anda hari ini?" Orang itu bertanya.

Saya asal-asalan menjawab, "Sangat melelahkan. Saya merasa tak sanggup lagi bekerja. Tugas-tugas seolah beranak-pinak, tak habis-habis. Sepertinya saya harus mengambil cuti panjang. Kalau tidak saya bisa gila."

Orang yang lehernya dipenuhi gelambir lemak itu, mengangsurkan sebotol minuman. "Minuman orang-orang lelah," katanya. Saya meminumnya setengah. Rasa lelah itu semakin kentara. Saat bus terakhir  tiba, kami seperi zombie memasukinya. Seluruh penumpang seolah tak memiliki tulang, berebut tempat duduk. Seorang-dua kehilangan merasakan nyamannya bangku, terpaksa mencangkung. Tak hanya saya, semua orang seakan tanpa senyuman.

Bus melaju membawa orang-orang lelah ini. Kapankah siksaan akan berlalu? Kapankah kami bisa menjadi bos, dan berhenti menjadi jongos? Besok pagi ketika terbangun, pasti kami tetap ingin dibalut selimut. Matahari seakan mendustai janjinya akan telat bangun.

Saya turun di halte paling akhir. Saya rasanya tak bisa lagi berjalan sampai ke rumah. Saya membayangkan kasur empuk. Saya ingin tertidur sangat lelap, sehingga besok hari bisa segar kembali. Apakah saya sanggup melanjutkan hari?

Tiba di rumah, saya baru ingat istri sedang bertandang ke rumah mertua. Sialnya, ada Yusran di teras. Dia membunuh kesempatan saya agar lekas tidur. 

"Hai, Bung! Letoi amat! Kayak mau mati aja." Yusran terbahak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun