Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Orang Kaya

11 September 2019   14:16 Diperbarui: 11 September 2019   14:58 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Ayah adalah orang paling kaya di kota ini. Dia memiliki mobil banyak. Tiap hari berganti-ganti. Aku bingung sebenarnya mobil ayah ada berapa. Tapi, meski punya banyak mobil, ayah tak pernah sombong. Paling-paling kalau pulang kerja, dia hanya membawaku beberapa  gorengan yang sudah dingin. Dia juga ikhlas mobilnya hilang satu-satu . Ketika  petugas jaga malam memukul  tiang telepon sebelas kali, ayah akan kehilangan mobilnya yang terakhir.

Dia menyeka kening yang bersimbah keringat dengan kain  kumal. Dia lega setelah selesai menjalankan amanah  yang berat itu.

Kau tahu, ayah tak akan hidup nyaman, andai saja mobil-mobilnya lecet, apalagi hilang digondol maling. Meski ayah belum pernah kehilangan mobilnya karena digondol maling, aku yakin hidup keluarga kami akan tepar manakala dia harus  mengganti rugi mobil itu.

Namun, sudah beberapa hari ini ayah tak lagi memiliki mobil. Sehari-harinya dia duduk di bale-bale, menghadapi koran basi sambil bertopang dagu. Dia mendapat sial ketika tak awas menjaga mobilnya. Awalnya menjaga, dia malah dimangsa sebuah mobil. Mundur, mundur, katanya. Dia tak  melihat mobil sudah terlalu mundur. 

Lalu, ngek, dia terjepit antara bemper mobil dan dinding toko. Dia menjerit kesakitan. Tulang pahanya patah. Untung saja si pemilik sah mobil mau membantu biaya perobatan ayah, walau hanya sebatas terbebas dari biaya rumah sakit. Kisah selanjutnya, ayah hanya bisa selonjoran di rumah. Dia tak bisa lagi memiliki mobil banyak. Ibu yang mati-matian mengasapi dapur. Andaikan aku ada tabungan, aku ingin membeli ayah sepasang tongkat kruk agar dia tetap bisa memiliki mobil banyak.

"Hai, aku ada ide." Alis bertepuk riang. Aku hanya tertunduk lesu. Selain kecapekan setelah bermain bola, aku juga sedih memikirkan kondisi ayah. Dia seperti orang yang kalah perang, suka merenung, dan selalu seperti merasa bersalah kepada ibu. Dia tak tegaan menyerahkan tampuk pimpinan rumah tangga, bulat-bulat kepada ibu.

"Ide apa, Lis?" Aku memeluk lutut.

"Kau ikut lomba mengarang cerpen saja. Hadiahnya kan uang! Nilainya lumayan.  Kalau cuma membeli sepasang tongkat kruk, aku pikir hadiah itu lebih dari cukup."

"O, iya. Lomba mengarang cerpen tingkat esde sekabupaten itu, ya? Tapi...."

"Masalah laptop kau akan kupinjami. Kau juga tak perlu mencetak cerpen itu, karena dikirimnya lewat e-mail."

Betapa bergairahnya aku. Ayah akan kembali memiliki mobil banyak. Meski gerakannya tak setangkas dulu, tapi melihat senyum dan gairah ayah akan membuatku, juga Ibu, kembali mendapatkan sosok lelaki yang periang itu.

Aku berjuang agar bisa membuat cerpen yang dapat merayu hati para juri. Hanya saja,  setelah sebulan penjurian cerpen, aku hanya bisa mengelus dada. Tak ada namaku tertera di majalah dinding sekolah. Punah sudah harapanku melihat ayah bisa tersenyum lagi seperti sediakala. Alis hanya bisa mengelus-elus punggungku, semoga aku tetap semangat. "Lode, setiap usaha pasti menemukan hasilnya."

"Hasil kalah lomba  cerpen. Ah, aku bukan pengarang yang berbakat."

Sejak saat itu, duka ayah semakin membuatku luka. Apalagi ibu terlihat sangat kepayahan menahan rong-rongan biaya rumah-tangga. Hingga suatu senja selepas bermain bola, aku  melihat ayah dan ibu, juga seorang tamu lelaki, sedang berbincang. Mereka terlihat riang. Di sela-sela perbincangan, aku mendengar suara tawa ayah sangat lepas.

"Nah, itu anaknya datang!" seru ayah. Tamu itu menyongsong dan menyalami aku. Matanya terlihat berlinang. Dia memapahku menuju teras.

"Bapak salah seorang juri lomba cerpen kemarin itu. Kau memang tak berhasil menjadi salah seorang pemenang. Tapi, bapak sangat tersentuh membaca cerpenmu. Seperti kisah nyata. Rupanya memang kisah nyata. Baiklah, besok kita sama-sama mencari sepasang tongkat kruk itu, ya." Dia tersenyum bahagia.

Aku ingin menjerit lantaran senang. Kelak ayah akan bisa memiliki mobil banyak lagi. Yang penting aku ingin sosok yang selalu penuh canda itu. Semangat, Ayah!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun