"Siap, Pak!" Aku menyampirkan tas di pundak.Â
"Halte itu sekian ratus kilometer dari sini. Meski jauh, keangkerannya tak lagi diragukan oleh seluruh sopir bus yang melintas di sana. Di sebuah kabupaten kecil yang terlalu cepat sepi, walau malam belum terlalu larut. Hanya satu harapku, semoga hari masih siang ketika busmu melintasi halte itu." Dia menepuk-nepuk punggung tanganku. "Doa bapak selalu bersamamu."
Aku keluar dari rumah sambil menatap foto mendiang ibu yang menempel di dinding. Kuharap dia turut mendoakanku dari alam sana. Bagaimanapun, memulai pekerjaan baru memang menjadi beban pikiran dan membuat jantung berdebar-debar.
Sebenarnya aku hanyalah seorang penulis cerpen. Tak terkenal memang, Cuma jadilah dua kali sebulan cerpenku dimuat di koran yang berbeda. Dan jamak orang mengatakan bahwa menulis cerpen itu bukan pekerjaan. Menulis sekadar melepaskan kesenangan saja. Jadi tak usah heran kalau tak ada pekerjaan penulis tertulis di KTP. Yang ada paling-paling wiraswasta.Â
Saat bapak menawarkan, lebih tepat menodongku untuk menggantikan tugasnya menjadi sopir Harum Wangi, buat apalagi mengelak. Setidak-tidaknya aku mendapat gelar seorang sopir, meskipun aku tak yakin ada pekerjaan sopir di KTP. Mengenai KTP bapak, aku pernah melihat di situ tertulis kata wiraswasta.
Seorang lelaki duduk di sebelahku, di bangku cc---aku sering menyebutnya di camping copir---sejak aku mengawali perjalanan dari terminal Manuk. Bangku-bangku di belakangku hampir penuh, dan rata-rata berisi perempuan. Aku mendengar sedikit informasi dari calo, mereka para perawat yang akan melepaskan penat kerja di sebuah tempat pariwisata entah di mana. Toh buat apa aku harus tahu. Yang penting ada penumpang dan mereka membayar sesuai jarak tempuh masing-masing.
Untuk meredam celoteh yang ramai, kuambil kaset pop Batak, kemudian membenamkannya ke lubang tape. Sejenak terdengar suara ngiat-ngiot, lalu beralih dengan nyanyian nyaring tiga lelaki. Seorang perempuan yang duduk persis di belakangku, meminta kaset diganti pop Minang saja.Â
Tapi aku acuh tak acuh. Aku ingin konsisten memainkan lagu-lagu dari kaset. Ketika melewati wilayah Tapanuli, kuputarkan beragam lagu Tapanuli. Ketika melewati daerah Sumatra Barat, aku memutar lagu Minang. Begitu seterusnya.
"Her!" Aku memanggil kenek yang berdiri di sebelah kiri bus, dan tengah melongokkan kepalanya melalui jendela pintu. "Kau kasih tahu jalan-jalan yang kita lalui. Aku baru pertama menyetir bus dengan jarak lumayan jauh. Ke Jakarta. Apa kita nanti tak tersesat?"
Her tertawa. "Percaya saja kepadaku, Imam. Seluruh kelok sudah kuhapal. Segala lubang tak lagi bisa menipuku. Kita tak akan tersesat!"
"Kecuali kau tertidur pada waktu yang tak tepat!"