Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Roda Pedati

25 Juli 2019   10:02 Diperbarui: 25 Juli 2019   10:07 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Kamis pagi yang cerah. Tak ada waktuku berkesah. Hanya untuk berkisah. Bahwa angin semilir mengabarkan, bahwa tak ada guna untuk bersusah. 

Hari terus bergulir, terkadang seperti roda kereta api, sering-kali seperti roda mobil, selaju roda sepeda motor. Tapi, aku hanya menggulir waktu seperti roda pedati yang menjalar di atas bebatu, dan jalan tak rata, dan jalan yang nganga.

Apakah kemudian aku harus memaki? Apakah kemudian berontak dan mengatakan Tuhan tak adil? Tidak mungkin. Aku hanya menikmati menjadi roda pedati, yang lambat, yang tergoncang, yang melindas kotoran. 

Tapi, orang-orang yang menuju ke sawah, melambai. Ramah sekali. Rumput basah sisa embun semalam, memberi kabar bahwa pagi cerah.

Aku memang tak pernah tahu dan tak mau tahu, bagaimana enaknya hidup menjadi roda kereta api, roda mobil, roda sepeda motor. Mereka laju kencang, berjibaku tak kenal lelah, melaju tak kenal kawan, menyalak menghalau lalu-lalang.

Mereka mungkin tak melihat rambu-rambu. Mereka mungkin tak pernah merasakan nikmat hidup. Dari fajar sudah memberi hati dan pikiran pada keruwetan hidup. Pulang dini hari tak lagi bisa merasakan bisa berada dalam nikmatnya hidup.

Mereka mungkin tak bisa memejamkan mata dikungkung hutang yang harus dibayar. Dikungkung nafsu untuk lebih cepat melaju hidup dari segala. 

Bergantung obat-obatan untuk membuat jeda, untuk membuat kesenangan hidup yang hampa. Kemudian melaju melanggar rambu-rambu halal-haram. Tak perduli roda lain mengumpat. Tak perduli roda lain mengutuk. Tak perduli bila suatu saat harus melewati jalan berlubang dan berbatu rompal.

Mereka tak pernah menikmati perjalanan roda pedati yang penuh perjuangan selalu di jalan yang buruk dan lapuk. Tapi, semua berjalan alami. Seperti pagi-pagi menikmati wangi kopi dan wangi bakar roti ubi. 

Mendegar teriak anak-anak mencoba meninju langit. Seperti senja sudah bercengkerama dengan ranum langit. Hujan tak datang senja ini.

Bersyukurlah adalah pilihan. Ikhlaslah tujuan. Apa pun adanya, roda pedati harus menjalani hidup dengan alami. Berterima kasihlah, menjadi apa. Jangan melihat apa yang didapat roda lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun