Mardan mengabarkan akan tiba setengah jam lagi. Katanya, jalanan macet mengular karena ada truck trailer melintang menutup jalan. Saya letakkan ponsel. Keluarga saya dan keluarga Mardan akan beriringan piknik ke suatu tempat. Piknik beramai-ramai, tentu lebih indah.
"Gerah amat, Pa! Kami ke restoran dulu, minum yang dingin-dingin." Si nyonya rumah membuat tiga krucil kegirangan. "Kan Mas Mardan masih lama!"
"Ok, Nanti saya jemput lagi kalau Mardan tiba." Bunyi klakson meraung. Saya mengeluarkan tangan, menyuruh sopir di belakang bersabar.Â
Setelah seluruh anggota keluarga keluar dari dalam mobil, saya celingak-celinguk mencari parkiran.
Cukup susah saya mencarinya. Â Tapi usaha itu akhirnya berhasil. Sebuah tanah agak lapang, cukup membuat mobil saya yang berbadan besar dan berkaki semi big foot, bisa benapas lega.
Mardan mengabarkan lagi mobil belum bergerak sama sekali. Saya mengantongi ponsel, lalu keluar dari mobil. Sebuah lapak duku membuat hati saya terhibur. Menunggu pasti membosankan, toh?
"Dukunya berapa sekilo?"
Si bapak penjual tak menoleh. Dia tetap menatap butiran duku di tangannya, diusap-usap, kemudian diganti dengan butiran yang lain. Dia seperti asal-asalan menyebutkan lima belas ribu.
Betapa sombong penjual ini. Aku paling benci melihat seorang penjual tak menghargai pembeli. Hukum tak tertulis mengatakan; pembeli adalah raja. Ingin rasanya saya minggat. Tapi mengingat mendapat parkiran ini saja cukup menguras tenaga, saya memilih di dingklik saking tak layak disebut bangku. Saya nyaris berjongkok
Saya memerhatikan si bapak penjual. Dia seperti perajin batu akik, yang berharap batu akik itu menjelma permata.Â
"Boleh dicicip, Pak?"