"Eh, Pak Rudi, apa Bapak tak curiga kepada Hanif?" celetuk Sukendar suatu malam di teras rumah.
Aku mengernyit. "Memangnya kenapa?"
"Dia itu kan bendahara masjid! Apa tak mungkin kas masjid dikorupsikannya? Lihat saja, hidupnya saja pas-pasan. Belum lagi nota-nota bonnya di warung Mina, sudah menumpuk!"
"O, iya, ya!" Kali ini Murad yang menjawab. "Kok Pak Haji Sulaiman sampai memilih dia menjadi bendahara. Harusnya rapat dulu, dong!"
Begitulah, rumah kami memang sering dipenuhi orang-orang. Senang saja rasanya. Karena kami sekelurga tak ketinggalan berita. Apa saja diperbincangkan di teras maupun dalam rumah. Dari gosip murahan antar penghuni komplek perumahan, hingga pejabat dan selebritis.Â
Dari berita tentang korupsi, sampai masalah carut-marut persepakbolaan. Maka wajar saja seluruh penghuni komplek perumahan, bahkan ke perkampungan luar sana, mengenal aku dan istri. Setiap mereka ada kegiatan resmi atau dadakan, aku dan istri selalu diundang.
* * *
Sudah lebih seminggu tak ada para ibu atau bapak yang ngerumpi di rumah kami. Tentu saja pasal bau bangkai itu. Istriku juga lebih memilih bertahan di rumah mertua. Milsa kebetulan ada acara study tour selama sepuluh hari ke Jawa. Tinggal aku yang meradang. Makan terpaksa di warung. Tidur terpaksa di teras, bertarung bersama nyamuk.
Pekerjaan di kantor yang biasa kukerjakan dengan cepat dan santai, sekarang terasa amat berat. Berulangkali aku melakukan kesalahan. Berulangkali atasan menegur. Mungkin ini terjadi karena aku mengalami beban mental oleh bau bangkai dan tak nyenyak tidur.
"Rud, petang ini ada senggang, tidak?" Usnen, teman sedivisi menyikut rusukku.
Pertanyaan yang tentu sangat merdu di telinga ini. Bagaimanapun ketimbang seperti orang bego di rumah, mungkin lebih baik mengikuti kegiatan Usnen. Buru-buru aku menggeleng.