Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Betapa Nikmat Menjadi Pengusaha

15 Juli 2019   16:02 Diperbarui: 15 Juli 2019   17:17 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku putus asa dan memastikan mengurungkan niat menjadi PNS. Namun setelah nego yang alot, si calo mau menurunkan tawaran menjadi tigapuluh juta rupiah. Akhirnya ayah nekad meminjam uang kepada Uwak yang tinggal di kota J.

Ujung-ujungnya, bukannya diterima sebagai PNS, aku dan keluarga kehilangan uang di tangan si calo hampir limabelas juta. Nominal lumayan, sehingga membuat kami pusing tujuh-keliling. Berulangkali aku meminta si calo mengembalikan seluruh uang yang telah diterimanya. Tapi dia memberikan alasan macam-macam. Uang itu telah digunakan untuk urusan gona-gini. Membayar bapak itu, ibu ini.

Ah, aku sepertinya ingin mengadukan penipuannya kepada polisi. Namun setelah dipikir-pikir, tentu tak ada gunanya. Hanya membuat malu keluarga. Lagipula, mengadu ke polisi serta mengikuti sidang-sidang lanjutan membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Aku pasrah. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana mengembalikan hutang sekian juta kepada Uwak? Sesal memang selalu datang belakangan. Andaikan aku tetap ikut tes PNS tanpa sogok-sogokan, tentu seluruh orang tak perlu repok. Tak ada harta benda yang tergadai demi cita-cita.

Dalam kondisi demikian, perusahaan kontraktor tempatku bekerja, mendadak bangkrut. Alhasil tak ada lagi dana untuk kupakai sehari-hari. Yang ada hanya memoroti orangtua yang penghasilannya hanya mengandalkan warung manisan.

Atas saran seorang teman, pertengahan tahun 2006, aku akhirnya mulai membuat usaha rumahan. Aku ahli membuat kue, kenapa harus disia-siakan? Biaya untuk menjalankan usaha rumahan itu taklah sampai mencekik leher. Lagipula ada harapan dengan berbisnis kuliner, aku bisa membayar hutang kepada Uwak, sekaligus membantu taraf hidup keluargaku.

Awalnya aku minder juga. Ketika memajang kue-kue buatanku di warung manisan, aku berbohong bahwa semua itu kubeli dari seorang agen kue. Aku hanya menjualkannya saja. Toh betapa malunya bila kelak para tetangga mengetahui bahwa sarjana seperti aku hanya bekerja sebagai pembuat kue.

Ternyata pembeli sangat menyenangi kue-kue itu. Mereka ingin mengetahui dimana aku membelinya. Mereka juga ingin menjualnya. Saat itulah aku berani jujur bahwa semua kue itu adalah buatanku.

Mulailah proses usahaku merangkak naik. Kue-kue yang biasanya dibuat hanya seratus potong per harinya, menjadi lima atau enam ratus potong. Bahkan sekali-sekali malahan mencapai seribu potong per harinya. Itulah yang membuat nyaris seluruh anggota keluarga harus turung tangan membantuku.

Atas saran ibu, aku pun membayar dua orang pekerja membantuku membuat kue. Karena mengharapkan tenaga anggota keluarga tentulah tak bisa setiap hari. Masing-masing mempunyai urusan yang terkadang tak boleh dibengkalaikan.

Tanpa sadar setahun sesudahnya, usahaku berjalan cukup bagus. Hutang kepada Uwak bisa dilunasi. Simpanan uangku yang lumayan, akhirnya bisa dipergunakan menyewa rumah kontrakan. Rumah kontrakan itu tak hanya digunakan membuat kue-kue pesanan orang, tapi sekaligus aku menyambi memasak berbagai lauk-pauk khas Padang. Lauk-pauk itu kutitipkan di beberapa rumah makan terkenal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun