Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pita Rambut Baru

22 Mei 2019   11:41 Diperbarui: 22 Mei 2019   11:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hari ini aku sangat kesal. Aku terlambat bangun pagi. Pita rambut yang baru kubeli, hilang. Mang Usor, tukang becak langganan, hanya tersenyum kecil ketika melihatku keluar dari dalam rumah. Selama perjalanan menuju sekolah, dia hanya diam. Baguslah, Mang Usor tahu aku sedang kesal.

"Sejak tadi kau cemberut terus, Adis. Kenapa?" tanya Yuni saat jam istirahat. "Hehehe, kau terlambat bangun pagi lagi, ya? Buku cerita itu memang bagus. Tapi jangan sampai membuatmu terlambat tidur dan terlambat bangun."

Apa yang dikatakan Yuni benar. Tadi malam aku terlambat tidur karena keasyikan membaca buku cerita. Buku cerita itu dipinjamkan Yuni, dan ceritanya sangat bagus. Buku cerita itu selesai kubaca ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam.

"Tapi bukan karena terlambat bangun pagi yang membuatku kesal," gerutuku. Kuceritakan tentang pita rambut baru yang sama-sama kami beli di pasar.

"Ha, pita rambut itu hilang?"  Mata Yuni membesar. Lucu sekali melihatnya. Aku ingin tertawa, tapi rasa kesal menahan tawaku keluar.

"Iya! Setelah kita beli kemarin pagi, aku langsung menyimpannya di dalam lemari. Rencananya aku ingin memakainya hari ini." Aku melihat rambut Yuni. "Lho, kau juga tidak mengenakan pita rambut baru!"

"Pita rambut itu masih basah, Adis. Kemarin sore Ibu mencucinya," jelas Yuni seiring bel tanda jam istirahat selesai, berbunyi.

Lambat-laun   aku melupakan pita rambut baru itu. Kalau ada uang lebih, aku bisa membeli penggantinya. Namun saat pulang sekolah, rasa kesalku kembali datang. Aku tidak sengaja melihat ke arah rambut Vika. Hai, bukankah itu pita rambutku? 

Vika adalah adik kelasku. Rumah kami hanya dibatasi sepetak tanah. Berani benar anak itu mencuri pita rambut baruku.

"Vika!" jeritku. Dia menoleh sambil meringis. Kemudian dia berlari tunggang-langgang. Aku ingin mengejarnya. Tapi Yuni menghentikan langkahku.

"Buru-buru amat, Adis. Tunggu aku, dong!" ketus Yuni dengan wajah cemberut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun