Aku ibarat buntelan kain, ditendang dari dalam perut bis malam. Tubuhku terhuyung, hampir terjerembab di trotoar. Setelah kata "tarik" menyeruak dari pintu bus, hanya kepul debu tersisa  menerpa wajah.Â
Kota yang kudatangi malam ini bergemerlap lampu warna-warni. Rumah toko berjejalan di sepanjang jalan. Beberapa warung kaki lima memajang dagangan mengundang selera. Nasi goreng, mie goreng, capcay, sop buah, sate, bakso, tongseng, kwetiau. Ada juga warung yang memajang perempuan bergincu tebal, berpupur badak, dan parfum menyengat. Inilah kota! Selamat datang sang pengangguran yang ingin bertarung dengan kerasnya kehidupan di kota. Keraskah kehidupan di kota? Ah, bagiku sangat menggoda!
Segera kuselempangkan tas di bahu. Aroma menggiurkan seolah mejambak krah baju dan menarik kepalaku ke dalam warung kaki lima.
 "Mie goreng, Pak?"Â
Aku tersenyum. Lapar mengganjal lambung. Seingatku, sekitar lima jam lalu aku menikmati sepotong roti dan secangkir air mineral di perhentian bus. Sekarang perut ini kosong.
"Nasi goreng, Pak?"
Aku menggeleng. Aku berharap ada pedagang yang menawarkan singgah sekadar acap-icip dagangannya. Namun mana ada yang gratis di dunia ini, apalagi di kota. Kencing bayar. Mati pun bayar. Pernah kata-kata itu dilontarkan teman sekadar mengganjal niatku menarung hidup di kota. Dia sudah pernah merasakan jatuh miskin di sana. Kemudian pulang ke dusun dengan tangan papa. Apa yang didapat, hanya sia-sia dan rasa malu. Nyatanya  tekadku tetap kuat. Nasib orang berbeda-beda. Siapa tahu  di retak tanganku tertulis bahwa dengan hijrah ke kota, hidupku mapan.
"Singgah, Bang!" Seorang perempuan berdandan menor, akhirnya membuatku berhenti melangkah. Tak ada salahnya beristirah sebentar di warung tempatnya berjaja. Mengobrol dengannya tentu tak berbayar. Kecuali aku mengajaknya "ngamar" misalnya. Seperti kata temanku, hitungannya jam-jaman. Hah, apakah sampai seperti itu? Aneh-aneh saja!
"Boleh duduk!" Aku menyurukkan kepala melalui pintu warungnya yang berkusen rendah. Dia menyusul. Dia mempersilahkanku duduk. Seorang lelaki gempal dengan tato tengkorak di lengan sebelah kiri, mencoba tersenyum kepadaku. Namun manakala dia melihat sandal jepit yang menghiasi telapak kaki ini, buru-buru dia mendengus. Dia mengusirku seperti anjing. Sementara perempuan berdandan menor itu meminta sebatang rokok dariku.
"Aku tak merokok!"
"Biasa menjadi rokok, ya?" Dia mengerling genit. Aku tak faham kata-katanya. Jadi, kuhadiahi dia senyum tipis.Â