Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terawang Tahun Baru

28 Maret 2019   13:22 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Entah apa jadinya bila aku berkonsultasi dengan lelaki itu di penghujung tahun  ini. Kabar yang tersiar, dia memiliki indra keenam. Hebatnya lagi---kendati masih meragukan---dia bisa menembus batas waktu. Dia bisa pulang ke beberapa tahun atau berpuluh tahun ke belakang. Dia juga bisa pergi ke beberapa tahun atau berpuluh tahun ke depan. Memang bukan jasadnya yang pulang-pergi. Ruhnya saja. Cuma, yang terjadi pada jasadnya, akan jauh lebih muda ketika sedang melakukan ritual pulang. Menjadi uzur ketika melakukan ritual pergi.

Irul sudah melarangku menemuinya. Menemui lelaki itu, sama saja melawan Tuhan. Masa lalu taklah mungkin diulang. Masa depan tak pula perlu untuk diketahui. Tugas manusia hanyalah menjalani hari-harinya sebaik mungkin. "Mendatanginya, sama saja kau musyrik!"  ketus Irul sambil menggebrak meja.

Aku terkejut. Sangat kesal. Istriku saja tak perduli terhadap niatku menemui lelaki itu. Apa hak Irul hingga berani melarang segala? Kami sebatas teman. Bedanya di masjid, dia guru mengajiku.

Akhirnya kutinggalkan dia tanpa mengucapkan salam. Sepeda onthel kukayuh perlahan. Hidup yang selalu seret dari tahun ke tahun, pertengkaran yang selalu timbul antara aku dan istriku, akhirnya membuat buntu pikiran. Seperti ada yang salah denganku, atau dengan istriku. Mungkin setelah lelaki itu memberikan terawang tentang masa depanku di tahun 2019, aku akan lebih nyaman menapak. Kendati mendului kehendak Tuhan, aku pikir tak ada salahnya untuk coba-coba.

Lelaki itu kebetulan sedang memacul di halaman rumahnya yang sempit. Dia senang bertanam. Di halaman sempit itu ada beragam sayur-mayur. Sebatang pohon jambu air berdaun lebat, yang selalu berbuah kapan pun. Kubunyikan lonceng sepeda sekali. Dia bergeming. Kubunyikan dua kali. Ayunan cangkulnya semakin kencang. Aku baru ingat, dia bukan burung yang akan bernyanyi bila aku memetikkan dua jari tangan. Segera kuucapkan salam dengan lembut, seolah ingin mengucapkan maaf. Dan cangkul itu berhenti bergerak. Dia menggerakkan badan. Menggerakkan pinggang ke kiri-ke kanan, ke depan-ke belakang. Lalu tersenyum sambil menyambut salamku.

"Ada apa pagi-pagi ke mari? Tak kerja rupanya?" Dia membuka pintu pagar. Kami kemudian duduk di bale-bale depan rumah. Entah dia tahu akan mendapat tamu pagi ini, telah terhidang dua cangkir kopi dan sepiring pisang rebus di atas meja. 

"Beberapa hari lagi tahun 2019, Pak Safran. Jadi..."

"Siapa bilang tahun 2024 rupanya?" Dia terkekeh. Tipe orang yang senang bercanda. Tapi dia bungkam setelah aku mengatakan ingin diterawang. Matanya melotot. Mulutnya mencibir. Dia marah dianggap sebagai paranormal, orang pintar, dukun, suhu atau apalah. 

Aku tak sakit hati, lalu minggat. Segala keinginan belum tentu mulus terwujud. Kerap kali ada aral melintang. Terkadang mudah dilewati, terkadang sudah sulit dilampaui,  menimbulkan sakitnya tuh di sini.

"Tolonglah saya, Pak Safran. Tentang kedigjayaan Bapak telah diketahui seantero kampung. Kenapa Bapak tak merelakan sedikit ilmu itu untuk dibagi kepada saya? Misalnya agar saya tahu bagaimana nasib saya di tahun depan. Apa masih berjenggot atau masih bertanduk. Apa sudah pandai bermake-up." Aku mencairkan suasana. Wajah Pak Safran sedikit cerah.

Bukannya memulai ritual penerawangan, dia malahan menasehatiku. Sebagai orang terpelajar dan tahu agama, tak selayaknya aku ikut-ikutan terawangan seperti orang-orang. Percaya pada ramalan bintang. Percaya pada shio-shio dan keberuntungan. "Kau bisa musyrik!" Ucapannya sama persis dengan ucapan Irul. Kutahan rasa kesal yang membuncah. Kesal kepada Pak Safran sama saja akan menutup kesempatanku merubah nasib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun