Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jembatan dan Kisah Luka

23 Maret 2019   13:02 Diperbarui: 23 Maret 2019   13:21 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.scoopnest.com/s/Palembang/

Dini hari ini suasana lengang. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas kencang di sepanjang jembatan yang menyambung bagian hilir dan hulu. Saya seperti biasa, selepas mengerjakan proyek tulisan, mengunjungi jembatan ini. Kami seperti sepasang sahabat. Pada dirinyalah saya temukan imajinasi yang segar setelah berkutat di depan layar komputer sampai mata saya lamur. Hingga isi otak saya panas dan cair.

Saya menumpukan kedua belah tangan di pagar pembatas jembatan dengan sungai yang tenang di bawah sana. Saya menghirup udara dini hari yang segar, menyimpannya sebentar dalam paru-paru seolah meresapi dekapan lembut seorang perempuan, lalu membuangnya sangat pelan.

"Mau kopi?" Seorang lelaki tiba-tiba mengejutkan saya. Dia mengangsurkan secangkir kopi kepada saya. 

Saya takjub. Baru pertama setelah beberapa kali saya mengunjungi jembatan ini, ada orang yang menyapa, bahkan menawari saya kopi. Biasanya hanya ada remaja-remaja tanggung yang nakal melempari lampu-lampu di sepanjang jembatan ini. Atau, mereka sengaja mencuri dan menjual lampu-lampu itu kepada penadah. Kali lain, mungkin ada preman mabok. Kali lain, mungkin ada perempuan nakal yang tak dapat pelanggan. Atau, orang-orang yang stress uji nyali duduk di pagar pembatas jembatan. Atau....

Saya menerima cangkir pemberiannya. Aroma kopi membuat hidung saya mengembang, dan paru-paru saya lapang. "Apakah kau sering ke tempat ini pada dini hari begini?" tanya saya. Dia mengedikkan bahu. 

"Baru kali ini. Dan mungkin pula untuk yang terakhir kali." 

"Kenapa untuk yang terakhir kali? Kau akan pergi ke luar kota? Ke luar pulau, atau ke luar negeri?" lanjut saya. Dia menggeleng. 

Saya tak langsung meminum isi cangkir itu. Saya sudah terpengaruh tak hanya oleh buku-buku cerita yang saya baca, juga oleh cerita yang saya buat sendiri, bahwa memasukkan sesuatu pemberian orang asing ke dalam perut, adalah sangat berbahaya. Maka diam-diam saya memiringkan cangkir, hingga air kopi meluncur deras ke sungai. Dia mengingatkan saya, dan sepertinya dengan nada kesal tentang kopi itu. Saya tersenyum membela diri, bahwa saya kebetulan sedang melamun.

"Apa yang kau lamunkan?" Tatapannya menusuk mata saya.

"Ya, sebuah rangkaian khayalan yang akan saya tuangkan menjadi tulisan. Itulah mengapa saya suka ke mari pada dini hari."

"Kau seorang penulis?"

"Pemula," jawab saya. Sebuah kapal yang sedang menarik tongkang penuh muatan batubara, melintas lambat di bawah sana. 

"Pernahkah kau berniat membuat cerita tentang jembatan ini? Misalnya tentang kematian?" 

Saya menatapnya sambil tertawa. Ketika dia melanjutkan perkataanya, saya langsung terdiam.. Benar yang dia katakan. Selain jembatan ini dijadikan orang sebagai pemuas naluri berwisata, banyak juga yang memilihnya menjadi tangan maut. 

Hampir setiap tahun ada saja orang yang tega membuang nyawanya di sini. Karena kerasnya hidup yang tak dapat ditaklukan, atau karena pengaruh narkoba, orang itu naik ke pagar pembatas. Mengembangkan tangan seolah memiliki sayap, lalu dia terjun ke bawah. Beruntung jika dia jatuh ke sungai dan tenggelam seperti batu karena tak bisa berenang. Atau, dia jatuh ke atas kapal atau tongkang tanpa muatan yang melintas di bawah sana. Tubuhnya pasti akan tercerai-berai. 

Naasnya, bila dia terjun ke sungai, tapi tak tenggelam karena bisa berenang, akan menggapai-gapai, lalu ditolong orang-orang di pinggir sungai. Maka, mati tak jadi, malu pun tak terperi. Bisa jadi pula dia terjun ke atas tongkang yang menggunung muatan batubaranya, akan melesak seperti masuk ke dalam pasir, lalu diselamatkan awak kapal. Seperti itu pula, mati tak jadi, malu pun tak terperi.

"Kenapa kau tak membuat cerita-cerita seperti itu? Maksudku tentang kematian di jembatan ini."

Saya terdiam. Saya malas menanggapi pertanyaannya. Memang pernah terbetik di benak saya akan membuat cerita-cerita tentang jembatan ini dan orang-orang yang menjadikannya sebagai ajang pembuangan nyawa. Tapi jembatan ini benar-benar teman terbaik saya. Tak ada salahnya dia tegak di sini, karena dia telah menghubungkan dua tempat yang dipisahkan sungai. Dia menjadi tempat orang menikmati hidup yang indah bersama kerlap-kerlip lampu dan angin yang ramah. Untuk apa saya mengotorinya dengan cerita bunuh diri? Itu sama saja saya mencederai persahabatan kami.

"Mungkin kau ingin diperlihatkan kejadian nyata, yang akan merangsangmu menulis cerita yang bagi pembaca adalah nyata." Dia telah duduk di atas sepeda motor. Syukurlah, mungkin dia akan pergi. "Dan lihatlah bagaimana aku berbuat yang terbaik bagi diriku," lanjutnya sambil mengarahkan sepeda motor menghadap pagar pembatas jembatan. Dia mengangkat kaki agak tinggi. Saya lihat kakinya sebelah kanan telah diikat tali yang dibelitkan ke stang. 

"Apa yang akan kau lakukan?" 

Dia menggeber-geber sepeda motor. "Jangan lupa tulis ceritaku ini, ya?" Dia tersenyum. Sepeda motor meraung, melaju seakan terbang, melangkahi pagar pembatas jembatan, dan meluncur deras ke arah sungai. 

---sekian---

(Terinspirasi kasus bunuh diri yang kesekian kali terjadi di jembatan kebanggan "Wong Palembang"ini )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun