Sangat terlambat tiba di sini. Air mataku terbit. Langit terasa tak bersahabat. Terang berkilau. Orang-orang yang kuharap masih menunggu kedatanganku, telah pergi. Lahan kosong. Seekor-dua kambing mengembik, memamah daun pisang yang pelepahnya rapuh dan terjulur di batang.
"Ke mana semua orang-orang itu?" tanyaku kepada Kadil. Hanya lelaki itu yang masih setia menungguku, menjuntai-juntai kaki di sebuah tunggul kayu. Dia memain-mainkan jemari. Wajahnya ditekuk. Sepertinya dia merasa bersalah. Tak berani dia menancapkan tatap di mataku.Â
"Ke mana mereka?" ulangku. Dia mendongak. Aku mengedar pandang ke jagat persawahan di depan itu. Semua menguning. Bulir-bulir padi begitu bunting.Â
"Mereka bubar, Pak! Mereka tak sabar menunggu." Seolah Kadil mempermasalahkan keterlambatanku tiba di sini.
"Kan hanya terlambat sepuluh menit!" ketusku.
"Sepuluh menit menurut mereka cukup berarti. Apalagi Juragan Ramelan telah berada di sini sejak sejam lalu. Dia telah menghasut orang-orang. Padi siap panen itu telah digadaikan dengan harga miring. Bapak tahu kan, sebentar lagi lebaran? Orang-orang butuh banyak dana. Membeli penganan, baju baru, celana baru, kendaraan bermotor. Pokoknya harus bergaya!"
Aku mengeluh, "Kasihan orang-orang itu. Padahal tujuanku ke mari adalah menyarankan mereka agar jangan menjual padi-padi itu sebelum panen. Juallah setelah disimpan rapi di karung. Harganya pasti mahal. Aku kan sudah bersedia membelinya.Â
Berapa pun banyaknya. Aku juga tak ingin membuat orang-orang itu sengsara. Kalau begini, untuk apa aku membentuk koperasi petani yang baru berusia setengah tahun?"
Aku meneteskan air mata. Orang-orang itu begitu mudah diperdaya oleh Juragan Ramelan. Meskipun dia sudah berkarat membantu---sebetulnya menyiksa para petani---tapi toh aku sebagai warga kampung ini ingin menyelamatkan mereka dari tengkulak semacam Juragan Ramelan.Â
Kalau orang-orang itu masih terus menjadi pecundang, untuk apa aku jauh-jauh sekolah ke Jakarta? Untuk apa aku meminta mendiang ayah menjual sebidang tanah, demi menyekolahkanku di fakultas ekonomi universitas elite itu? Percuma!Â
Aku hanya ingin membangun kampungku. Membantu orang-orang yang seringkali terpedaya oleh manusia-manusia rakus. Sayang, aku belum bisa meyakinkan mereka. Mereka lebih senang menerima yang nyata dan cepat, meski di akhir orang-orang itu berubah bagaikan anjing terjepit.Â