"Kabarnya Mardi membuat film di sana. Orang-orang ramai. Berjubel. Aku diajak Rahayu. Kau kenal Rahayu, kan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, meski sama sekali tak mengenal perempuan itu. "Itu lho, janda yang tinggal di kaki Bukit Siojo. Tapi aku malas. Bisa-bisa aku terjepit keramaian orang. Bagaimana pula tak ramai, pengunjung dari kabupaten datang. Ada dangdutan juga. Hmm, tapi malam ini mungkin sudah sepi."
Hatiku trenyuh. Taman itu, ah...kasihan. Aku mengambil jaket dan syal ke dalam rumah. Panggilan Mami tak kuperdulikan. Bahkan ketika dia melarangku ke taman selarut ini, pun tak kuambil pusing. Aku hanya lebih melebarkan langkah. Napasku memburu membayangkan rumput-rumput mati tergilas seratusan pasang lebih telapak kaki. Bunga-bunga mawar dipetik dan tercampak. Daun-daun gugur. Sampah bertebaran di mana-mana. Lalu ke mana hinggapnya capung, rama-rama dan burung merpati besok pagi? Ke mana aku dan si Manis duduk-duduk menikmati senja yang merapat?
Bayang-bayang kehancuran menusuk hatiku. Dari jauh kulihat masih berpendar cahaya suram di taman. Ketika sudah dekat, tak ada lagi kulihat tetanam yang tumbuh tegak. Semua layu dan mati. Bangku-bangku kayu tempat biasa aku dan yang lainnya duduk, berkeping-keping seperti kayu bakar. Berpasang muda-mudi memadu kasih, mencoba bersembunyi di rumpun perdu yang daunnya entah sudah terbang ke mana.
Aku teringat teman kecilku. Di mana dia bersembunyi malam ini? Kasihan, besok pagi dia tentu sedih mendapati tempat peristirahatan kami telah luluh-lantak.
Tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang lembut. Mataku jelalatan. Segera kuangkat sesuatu itu dengan perasaan kacau. Ketika kukenali, barulah tangisku tumpah. Kau tahu apakah sesuatu itu? Dia adalah si Manis. Teman kecilku yang tak bernyawa lagi. Aku yakin dia telah berusaha mengusir orang-orang perusak itu. Tapi, mana mungkin. Dia hanya hewan kecil yang tiada daya. Sama seperti aku yang tak memiliki kuasa apa-apa.
---sekian---