Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Taman Senja

12 Februari 2019   16:15 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Bisnis apa?"

"Aku menjadi penulis naskah film dokumenter tentang daerah kita. Siapa tahu investor melirik dan ingin memajukan daerah ini setelah menonton filmnya. Nah, salah satu lokasi syuting, adalah di taman itu. Bagaimana, Pa? Bagus, kan? Anak Papa naik pangkat dari penulis novel menjadi penulis naskah film."

"Peralatan dan anggotamu kan tak ada?"

"Semua diinapkan di hotel. Maaf, aku baru membicarakannya sekarang dengan Papa."

Mardi langsung melesat pergi tanpa bisa kucegah. Hatiku mendadak sakit. Aku takut kedatangan Mardi dan kru-kru film lainnya, bisa membuat taman itu bertambah sumpek dan jorok. Bagaimana mungkin pengambilan film di situ tak sampai merusak taman? Aku yakin, taman akan amuradul.

Orang-orang haus hiburan. Pengambilan film tentu menjadi sebuah tontonan, sekaligus berharap bisa tertangkap kamera. Bisa terkenal! Kaki-kaki nakal akan merubung. Berhimpit-desak sampai napas dan keringat bau menyengat tepat di hidung. Usai itu, semua bubar. Pasti tak akan ada yang berniat membersihkan dan merapikan taman. Termasuk, mungkin, Mardi dan teman-teman filmnya.

Tersebab itu aku merasakan tubuh mengigil. Asmaku kambuh. Tapi aku tak ingin menyalahkan rokok yang baru kuhisap setengah. Maksudku setengah bungkus. Setelah kepergian Mardi, aku berbas-bus sendirian di rumah berteman novel-novel. Sekadar melupakan taman serta kejadian buruk yang akan menimpanya.

Maka ketika malam harinya Mardi tak menginap di rumah, aku tak perduli lagi. Tak kukatakan bahwa asmaku kambuh. Dia tak usah pusing, karena persediaan obat masih ada di bawah bantalku.

Demi membunuh sepi, aku keluar ke halaman depan rumah. Di situ kulihat Mami, perempuan tua tetanggaku. Kami senasib, sama-sama lajang lapuk. Dia menjanda sudah sepuluh tahun. Cukup awet untuk tak berniat berumahtangga lagi. Sedangkan aku menduda baru setahun. Begitupun hatiku mati kepada setiap perempuan. Termasuk kepada Mami, yang kerapkali dijodohkan anak-anak denganku.

"Tak ke taman senja tadi, Ang?" Dia menatapku malu-malu.

"Malas! Lebih enak di rumah." Aku berdiri di belakang pintu pagar. Memegang ujung-ujungnya yang runcing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun