Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tempat Mereka Singgah dan Menetap

28 Januari 2019   15:25 Diperbarui: 29 Januari 2019   10:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Kau masih ingat tempat kita bermain yang indah, Win? Katamu itu negeri gua dengan stalagmit dan stalagtit yang gemerlap. Kau sangat senang ke sana, meski tempatnya jauh dari perkampungan, tersembunyi, dan sedikit menjorok ke pinggiran pantai. Hanya kita berdua yang sering ke sana, selain Kek Mar, yang memiliki segudang cerita dan senang berbas-bus dengan rokok daun nipah. Kau ingat dia, Win? Kau pasti kangen mendengar celotehnya. Mendengar ceritanya yang tak putus-putus ketika kita bersenda-gurau di bale-bale belakang rumahku sambil ditemani kopi dan pisang goreng.

Kek Mar sangat berani menyeruput kopi itu. Sementara kita berdua, hanya berani minum dari gelas yang sama. Itu pun menyeruputnya dengan mata menyipit. Pahit bukan kepalang. Mak-ku hanya menyendokkan seujung kuku gula pasir ke gelas kopi itu. Katanya, harga gula pasir mahal. Barangnya susah didapat. Harus ke kota dulu kalau memang mau murah. Tapi ongkosnya mahal. Jadilah menunggu tengkulak saja meski membelinya dengan hati terpaksa.

Kau ingat gua itu, Win? Bagimu tak ada bandingnya dengung stalagmid dan stalagtid di situ bila dipukul dengan kayu. Kau ingin kelak menjadikannya alat musik mengiringi suaramu yang merdu. Tapi sungguh, masih ada keindahan yang tak bisa kau lupakan. Burung layang-layang yang ratusan atau mungkin ribuan jumlahnya, merubung di pucuk-pucuk gua. Suaranya ramai mendengung, menciak-ciak. Kau paling senang bila salah seekor burung itu memberaki kepalaku. Katamu, aku akan mendapat rejeki. Maka kau sering mengumpulkan tahi burung layang-layang, dan diam-diam memasukkannya ke dalam kantong celanaku.

Burung layang-layang itu memang indah. Terbangnya tiada lelah. Sarang-sarang di pucuk gua, di ujung-ujung karang yang menyempit, selalu menyimpan suara ciap anak-anak mereka. Kau dan aku paling senang menghitung berapa jumlah sarang dan anak-anak burung itu. Tapi sampai mulut kita berbuih, kita selalu salah menghitungnya. Mengulang dari pertama, namun salah lagi. Mata kita juga berair. Leher pegal karena harus mendongak terus. Lagi-lagi, kita salah menghitung. Lupa lagi, menghitung lagi. Tapi, itu pekerjaan mengasyikkan, bukan?

"Tahukah kalian seberapa kuatnya burung-burung itu?" tanya Kek Mar suatu hari, ketika kita mendadak bertemu dia di gua itu.

Aku menggeleng. Kau pura-pura melipat ujung rok. Ada bekas kotoran burung di situ.

Kek Mar mengatakan, burung layang-layang kuat terbang puluhan kilometer demi mencari makan. Mereka tak mau berhenti sebelum tiba di tujuan. Konon, kalau burung layang-layang jatuh saat menempuh penerbangannya ke tempat-tempat jauh, mereka akan mati. Jatuh artinya mati.

Burung layang-layang juga kuat menahan dera sakit untuk meneruskan generasi mereka. Mereka membuat sarang-sarang tempat telur dieram. Sarang-sarang yang tercipta dari ludah mereka. Ludah yang sengaja dikumpul dan dimuntahkan. Bahkan terkadang, ludah-ludah itu bercampur darah mereka.

"Apakah memang harus begitu, Kek?" tanyaku. Kau menitikkan air mata membayangkan bagaimana sakitnya burung layang-layang memuntahkan darah hanya karena ingin telur-telur mereka aman dan hangat di dalam sarang.

"Menurut cerita orang-orang, memang begitu. Jadi, kakek harap, jangan sekali-sekali kalian mengganggu mereka. Biarlah mereka menjadi sekelompok panorama di daerah kita."

"Win menyenangi mereka, Kek! Win sangat sayang!" Kek Mar mengaduk-aduk rambutmu yang panjang dan berombak. Kau menatapku jenaka. Saat itu, kutahu aku juga sangat menyayangimu.

Tapi setelah kau pergi bersama Wak Nang ke negeri jauh, aku didera sepi. Kek Mar meninggal dunia beberapa bulan setelah kau tak ada. Tinggal aku tak memiliki teman, selain ayah yang sibuk ke laut terus setiap hari. Dan mak yang setiap hari bekerja di dapur, meski sekali-sekali ke halaman depan yang berpasir. Dia menjemur ikan sepert biasa untuk dijadikan ikan asin.

Berkawan dengan anak-anak seumuranku juga tak mungkin, Win. Mereka senang bermain di laut. Mereka senang menangkap ikan, berenang ke tempat-tempat yang dalam bersama cakar ombak yang tak ramah. Sementara aku, fuh... Kau sangat tahu bahwa mustahil aku bisa pergi ke laut. Aku sama sekali tak mampu berenang. Kakiku tak lengkap. Hanya ada kaki kanan yang sempurna, sedangkan yang kiri hanya sebatas paha. Berjalan saja susah, apalagi hendak berenang. Ya, kau selalu menyuruhku agar tabah!

Dan mengenai burung layang-layang itu, akhirnya diserbu lelaki-lelaki bertopi dan membawa keranjang yang tersangkut di bahu mereka. Lelaki-lelaki bertopi itu membawa galah. Kau tahu Win, mereka menyerbu ke goa tempat bermain kita.

Pada awalnya aku tak peduli. Tapi ketika aku melihat di langit burung layang-layang menjerit, aku cemas. Teman-teman kita itu pasti diganggu. Sayang, kalau saja Kek Mar masih hidup, dia pasti mengusir lelaki-lelaki bertopi itu. Dia masih memiliki senapan peninggalan Belanda, kan?

Aku segera berlari ke goa itu. Di sana tak hanya ada lelaki-lelaki bertopi itu, tapi orang-orang kampung kita turut merubung. Mereka berceloteh riang. Apalagi lelaki-lelaki bertopi itu keluar dari dalam gua dengan keranjang penuh.

"Wah, tak nyangka ya, sarang burung layang-layang berguna! Harganya mahal! Kenapa tak dari dulu kita tahu dan mengambilnya. Sekarang tempat itu sudah dikuasai kepala kampung. Dia dibayar pengusaha kota untuk seluruh sarang yang didapatkan," kata seorang lelaki berperut buncit dan berdada sempit.

"Seharusnya kita yang membantu pengusaha itu mengambil sarang burung itu. Bukan oleh orang-orang bertopi yang dibawanya langsung dari kota," balas temannya yang bergigi tonggos.

Sarang burung layang-layang? Aku mencoba menerobos masuk ke dalam goa. Aku kasihan membayangkan telur-telur burung itu berjatuhan karena sarangnya diambil. Telur-telur itu pasti pecah. Induk mereka pasti bersedih. Kubayangkan ludah bercampur darah yang dimuntahkan burung layang-layang demi membuat sarang. Oh, lelaki-lelaki bertopi itu sungguh biadab!

Tanganku yang kecil dan dekil, dicengkeram seseorang sehingga langkahku tersedak. Aku mendongak, kemudian melihat seringaian kepala kampung. Berani betul dia menyakitiku. Kalau saja Kek Mar masih hidup, dia tentu dikemplang dan tersungkur-sungkur meminta ampun. Kek Mar jagoan. Dari dulu kepala kampung tak pernah berani melawannya. Mak bercerita, Kek Mar pernah memukuli kepala kampung sampai muntah darah, karena dia  mengganggu mak. Kek Mar tak suka anaknya diganggu apalagi oleh lelaki yang berotak bejad itu.

"Anak si Safiah ini mau berulah pula!"

Aku hanya bisa tunggang-langgang berlari ke rumah. Aku menangis sejadi-jadinya membayangkan nasib goa tempat  kita bermain. Burung layang-layang itu pasti sangat ketakutan, Win.

Ayah hanya menyuruhku bersabar ketika kukatakan goa tempatku bermain dilantak orang-orang kota. Mak mengelus dada, lalu menyuruhku mandi. Dia telah menyiapkan sepiring nasi berlauk ikan bakar dan sedikit kecap. Ketika aku menanyakan sayur bening, mak mengatakan tak ada. Tengkulak yang biasanya datang dari kota, hari itu absen membawa sayur-mayur dan lauk-pauk. Mungkin mereka tergoda juga dengan cerita sarang burung layang-layang yang berharga menggiurkan itu. Sempat kudengar tadi dari celoteh orang-orang, bahwa harga sekilogram sarang burung layang-alayang, tujuh jutaan lebih. Aku takjub. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak lembaran uang tujuh juta itu.

Orang-orang kota hampir setiap pekan datang menghabisi sarang burung layang-layang di goa itu. Beberapa warga kampung kita, pun sekali-sekali mengambilnya di malam buta. Kau tahu, Win, bila ketahuan mereka ditangkap polisi. Kata polisi sarang-sarang burung itu telah menjadi hak pengusaha dari kota. Padahal goa itu tak ada pemiliknya, kan? Seharusnya, orang yang berhak menguasainya hanyalah warga kampung. Tapi semua orang sepertinya takut kepada pengusaha itu.

Aku berdoa semoga mereka yang mengambil sarang burung layang-layang itu kuwalat. Atau bisa jadi mereka merugi.

Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Tuhan pasti mendengar doaku. Beberapa orang lelaki bertopi yang mengambil sarang burung di dinding gua yang berkarang tinggi dan curam, terkadang tak hati-hati. Mereka terpeleset, jatuh ke tanah, lalu tulang-tulang mereka patah. Bahkan aku dengar ada yang sampai meninggal. Syukurlah! Mudah-mudahan mereka sadar.

Sayangnya, aku ternyata salah. Orang-orang itu bertambah berangasan. Pikiran mereka hanya bagaimana cara mendapatkan sarang burung yang banyak dan menghasilan uang bergoni-goni.

Beruntunglah lambat-laun burung layang-layang itu jera masuk ke goa. Mereka menghilang entah ke mana. Mereka tak mau lagi membuat sarang di goa itu. Dengan begitu, orang-orang dari kota ikut jera. Semuanya pulang ke daerah masing-masing. Sedangkan goa terbiar tak berpenghuni. Sekali-sekali aku masih senang ke sana. Tapi burung layang-layang tak ada. Kelelawar telah menguasai goa itu dengan bau busuk mereka dan tahi-tahi berhamburan. Kau takut kelelawar, kan? Aku juga membenci mereka!

Sekarang burung layang-layang masih dapat terlihat di siang hari berseliweran mencari makan di sepanjang pantai. Namun ketika hari mulai senja, mereka menghilang. Terbang jauh entah ke mana. Aku tak tahu di mana mereka membuat sarang.

Hingga pagi ini, aku terpaksa melupakan tentang burung layang-layang, goa, pantai dan rumahku. Maaf, aku lupa menceritakan kepadamu, Win. Kampung pantai telah habis dibabat ombak besar ketika badai tiba. Rumah-rumah hilang dijilatnya. Ayah dan mak tak tahu ke mana rimbanya. Mungkin masih hidup, mungkin sudah meninggal. Aku pun diajak Wak Leman, abang mak mengungsi ke rumahnya di kota.

Padahal aku enggan, Win. Sesuai dengan janjiku, aku bertekad tinggal di pinggir pantai sampai aku tua serupa Kek Mar. Aku memang tak bisa melaut karena tak memiliki sepasang kaki yang utuh. Tapi setidak-tidaknya aku bisa bekerja seperti mak, di dapur dan menjemur ikan. Aku juga akan menjahit jala, atau sekali-sekali membuat perahu.

Namun sekarang aku harus mengubur semuanya. Orang-orang yang kucintai telah hilang. Lagipula Wak Leman sangat keras hatinya mengajakku ke kota. Dia berjanji akan menyekolahkanku. Hmm, sekolah! Umurku sudah menjelang tigabelas tahun sekarang.

Ya, aku akhirnya pergi ke kota. Harapan satu-satunya kelak ada mukjizat yang mempertemukan aku dan kau Win, juga ayah dan mak Aku sangat merindukanmu. Kapan kita bisa kembali ke goa melihat burung layang-layang hidup damai? Mungkin mustahil, ya!

Aku pun tinggal di rumah Wak Leman yang menjulang tinggi. Kamarku di lantai empat. Kecil serupa barak kambing milik kepala kampung. Tapi kata Wak Leman, jadilah untukku beristirahat.

Kau tahu, Win, hatiku bukannya damai di kota. Semuanya bising, apalagi bunyi-bunyian yang ramai tepat di atas kamarku.

"Suara apa yang ramai itu, Wak! Aku tak bisa tidur dibuatnya," kataku takut-takut ketika makan siang di lantai satu gedung itu.

"Oh, itu suara tape recorder!" Istri Wak Leman yang menanggapi. "Wak-mu lain usahanya. Tapi penghasilannya banyak."

"Wak usaha apa?" kejarku.

Lagi-lagi istrinya yang menjawab. "Itu, pergilah ke luar! Mendongaklah ke atas. Kau pasti tahu apa usaha Wak-mu." Dia tersenyum simpul. Wak Leman hanya mengedipkan mata sambil menikmati hidangan di depannya dengan lahap.

Aku penasaran, Win. Santapan nikmat bukan kepalang di atas meja, sengaja kutinggalkan. Apa usaha Wak Leman sehingga bisa membangun gedung bertingkat empat, eh.. . maksudku bertingkat lima seperti ini? Karena setelah kamarku, di atasnya masih ada setingkat lagi. Aku tak tahu siapa yang tinggal di situ. Aku belum pernah masuk ke dalamnya. Sebab Wak Leman melerangku. Padahal suara ribut itu berasal dari sana seperti yang telah kuceritakan tadi.

Kau tahu, Win. Kakiku langsung gemetar. Aku lemas ketika sampai di luar dan mendongak ke atas. Beratus-ratus burung layang-layang berterbangan. Sebagian singgah, dan memasuki gedung di tingkat lima yang berlobang-lobang serupa lobang angin. Oh, kiranya burung-burung itu menetap di gedung Wak Leman. Aku bahagia, Win. Wak Leman juga pecinta burung layang-layang, sehingga dia membuat tempat untuk mereka menetap. Barangkali burung layang-layang yang lari dari kampung kita, sebagian telah menempati gedung di tingkat lima itu.

Aku berlari ke dalam. Rasanya senyumku belum pernah selepas saat ini, sejak orang-orang dari kota menyerang goa tempat kita bermain.

"Terima kasih ya, Wak! Wak juga penyayang burung layang-layang? Betapa mulianya!" Wak Leman mendecak. Istrinya menyendukkan lagi lauk berkuah yang rasanya nikmat itu ke piringku.

"Wak-mu memang sangat menyayangi mereka. Maka itu, kau juga kami minta mengurusi burung-burung itu, di samping nanti kau kami sekolahkan," kata istrinya

"Bisa dapat uang dari memelihara burung itu, Wak? Bagaimana caranya?" kejarku.

Wak Leman akhirnya angkat bicara. Sambil mengelap bibirnya yang berminyak, dia menjawab, "Apalagi kalau bukan mengambil sarang burung layang-layang itu. Harganya sekilogram sangat mahal! Bisa membeli satu unit sepeda motor. Wak berduit karena sarang-sarang mereka. Dan yang di lantai lima itu adalah tempat mereka menghasilkan uang, di samping Wak memiliki beberapa gedung kosong lagi di kota lain. Mengenai suara bising dari tape recorder, adalah pemanggil burung-burung bodoh itu!" Wak Leman tertawa. Tapi emosiku terlecut. Aku ingin memakinya, karena dia sama saja dengan orang-orang kota yang menyerbu goa kita. Kalau saja bukan kakak mak, sudah kuterjang dia dari tadi. Kasihan sekali burung-burung itu.

"Kau juga sudah merasakan betapa nikmatnya sarang burung layang-layang yang mahal itu. Kau sampai menambah nasi dua kali," seloroh istri Wak Leman.

Kau tahu, Win, aku langsung mual dan ingin muntah!

--sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun