Hidup sederhana tak pernah jadi alasan bagi Salman untuk henti bermimpi. Anak ketiga dari lima bersaudara dikenal rajin, pintar, dan penuh tanggung jawab. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat kedua orang tuanya bekerja keras demi menghidupi keluarga. Namun, keterbatasan ekonomi membuatnya harus membuat pilihan besar kelak akan mengubah hidupnya.
Salman sebenarnya bercita-cita melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Para gurunya yakin ia pantas menjadi sarjana pendidikan, karena kepintarannya mengajar teman-teman sudah terlihat sejak duduk di bangku sekolah menengah. Tetapi, setelah lulus SMA, Salman dihadapkan pada kenyataan pahit: orang tuanya tidak mampu membiayai semua anak untuk melanjutkan sekolah.
Ia menatap wajah adik-adiknya yang masih haus ilmu. Hatinya bergetar. saat itulah ia memutuskan, "Biar saya saja yang mengalah, asalkan mereka bisa tetap sekolah." Sebuah keputusan tidak mudah, namun ia jalani dengan penuh keikhlasan.
Hari-harinya berubah. Salman bekerja serabutan---menjadi buruh bangunan, berdagang kecil-kecilan, bahkan mengangkat barang di pasar. Setiap tetes keringat yang menetes adalah demi membiayai sekolah adik-adiknya. Malam hari, ketika tubuhnya lelah, ia tetap menyempatkan diri untuk membantu mereka belajar. "Ilmu itu bekal hidup. Jangan sia-siakan kesempatan yang kalian punya," katanya penuh ketulusan.
Tahun demi tahun berlalu. Usaha Salman tidak sia-sia. Adik-adiknya satu per satu berhasil masuk perguruan tinggi. Ada yang kini sudah lulus sarjana, ada yang mendapat pekerjaan layak, bahkan ada yang sukses secara ekonomi. Salman tersenyum, merasa pengorbanannya tidak sia-sia.
Namun, di balik senyumnya, tersimpan luka yang tak pernah ia ucapkan. Adik-adik yang dulu ia perjuangkan kini jarang menoleh kepadanya. Kesibukan dengan dunia kerja, kehidupan keluarga baru, dan pencapaian pribadi membuat mereka perlahan melupakan siapa yang pernah menjadi tulang punggung di masa sulit.
ia tidak pernah menagih balas budi. hanya berharap sekadar dihargai, diingat, atau diajak berbagi kebahagiaan. Tetapi, seringkali ia duduk sendiri di beranda rumahnya, melihat langit malam, lalu berkata lirih, "Mungkin memang begini jalannya. Saya cukup bahagia melihat mereka sukses, meski tanpa mereka sadar siapa dulu berkorban."
Kisah ini menyadarkan kita bahwa pengorbanan seorang kakak sering kali tidak tercatat dalam lembar sejarah keluarga. Ia tidak pernah meminta penghargaan, tidak pula mencari pujian. Namun, kisahnya menjadi cermin bahwa kesuksesan seseorang kadang berdiri di atas pengorbanan orang lain yang diam-diam merelakan mimpinya sendiri.
Kini, Salman bukan hanya menjadi kakak bagi adik-adiknya, melainkan juga guru kehidupan. Ia membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya soal gelar, tetapi juga tentang keteladanan, kerja keras, dan kasih sayang. Kisahnya mengajarkan bahwa seorang pahlawan tidak harus populer, tidak harus berpangkat, dan tidak harus berpendidikan tinggi. Terkadang, pahlawan sejati hadir dari pengorbanan seorang kakak yang rela menunda mimpinya demi masa depan orang-orang yang ia cintai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI