Di tengah gegap gempita teknologi dan derasnya arus kecerdasan buatan, satu pertanyaan mendesak mengendap di benak kita: apakah pendidikan kita sedang bertransformasi secara substansial atau sekadar mengejar kecanggihan alat? Pada hari kedua pelatihan "Smart Class Smart Minds" di Pamekasan, saya menemukan jawabannya tidak pada laptop atau layar presentasi, melainkan pada kesadaran para pendidik yang mulai membincang ulang esensi mengajar. Salah satunya lewat konsep berpikir komputasional (computational thinking) --- cara berpikir yang jauh lebih penting daripada sekadar bisa ngoding atau memainkan AI.
Berpikir komputasional bukanlah produk Silicon Valley, tapi refleksi tentang bagaimana manusia menyelesaikan persoalan secara logis dan sistematis. Jeanette Wing (2006), tokoh pelopornya, menyebut bahwa berpikir komputasional adalah proses berpikir yang melibatkan perumusan masalah dan penyelesaiannya sedemikian rupa sehingga solusi dapat dieksekusi secara efektif oleh agen pemroses informasi, baik manusia maupun mesin. Dengan kata lain, ini bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi kerangka berpikir kritis yang memungkinkan kita menavigasi kompleksitas zaman digital dengan cerdas.Empat pilar utamanya --- dekomposisi, pola, abstraksi, dan algoritma --- sejatinya adalah kemampuan berpikir kritis yang sudah diajarkan oleh para guru sejak dulu, hanya kini diperjelas istilahnya, diberi konteks digital, dan dibingkai dalam semangat zaman.
Sayangnya, banyak yang terjebak pada euforia alat. Ketika AI dianggap sebagai jawaban atas semua masalah pendidikan, kita lupa bahwa alat tidak akan pernah menggantikan nilai. AI bukan bos. AI bukan guru. Bahkan bukan juga pembimbing. Ia hanyalah alat --- dan hanya seberharga kecerdasan dan kepekaan manusia yang mengarahkannya. Maka, ketika seorang guru memperkenalkan konsep berpikir komputasional bukan dengan coding, melainkan dengan diskusi, tanya-jawab, atau bermain peran, justru di sanalah revolusi pendidikan itu dimulai: dari kesadaran bahwa pendidikan bukan soal alat, melainkan soal cara berpikir.
Dalam pelatihan itu, ada pula suara kritis dari Ust. Faturrahman yang mengingatkan: literasi kini telah bergeser. Buku kalah dari TikTok, dan membaca kalah dari scrolling. Tapi apakah itu berarti guru harus menyerah? Tentu tidak. Justru di sinilah letak tantangan sekaligus peluang: membentuk generasi yang tak hanya melek teknologi, tetapi juga beradab dalam berpikir. Generasi yang bisa memilah, merumuskan, menyusun langkah, dan mengabstraksikan masalah --- bukan hanya menelan algoritma media sosial secara pasif.
Maka berpikir komputasional bukan sekadar soal kurikulum, melainkan soal perlawanan senyap terhadap pembodohan digital. Ia bukan metode cepat saji, tapi jalan sunyi yang menuntut konsistensi dan kesadaran. Guru hari ini tidak butuh menjadi teknisi canggih, cukup menjadi manusia yang berpikir kritis dan mau terus belajar. Karena dalam dunia yang semakin dikendalikan data dan algoritma, justru manusialah yang harus tetap menjadi subjek utama --- bukan objek pasar teknologi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI