Puisi "Di Atas Meja" karya Joko Pinurbo menggambarkan perenungan dan kerinduan terhadap kehadiran seseorang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan penyair. Dalam puisi ini, metafora seperti meja kecil digunakan sebagai simbol tempat di mana interaksi dan komunikasi terjadi. "Di Atas Meja" merupakan refleksi emosional yang mendalam, menunjukkan bagaimana penyair merenungkan kehadiran seseorang yang memiliki peran besar dalam hidupnya serta tanggung jawab yang ia emban untuk melanjutkan estafet pengetahuan kepada orang lain.
Puisi ini menampilkan berbagai simbol yang merepresentasikan perenungan tersebut. Simbol "harum darahmu" menunjukkan perjuangan dan pengorbanan seseorang yang masih dirasakan oleh penyair meskipun orang itu telah tiada. Simbol "halaman-halaman buku"Â menggambarkan perjalanan hidup seseorang. Simbol "sabda" melambangkan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penyair. Sementara itu, simbol "ribuan kata dan suara" merefleksikan kewajiban penyair untuk meneruskan apa yang telah ia peroleh, agar ilmu yang sudah diberikan tidak berhenti hanya pada dirinya.
Secara keseluruhan, "Di Atas Meja" adalah puisi yang menggambarkan perenungan terhadap ekspansi besar pengetahuan dalam kehidupan seseorang serta tanggung jawab untuk membagikan ilmu tersebut kepada orang lain. Berikut adalah teks lengkap puisi "Di Atas Meja" yang dikutip dari buku "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi" terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Puisi Di Atas Meja
Di atas meja kecil ini
Masih tercium harum darahmu
Di halaman-halaman buku.
Sabda sudah menjadi saya
Saya akan dipecah-pecah
Menjadi ribuan kata dan suara.
(Joko Pinurbo, 1990)
1. Simbol Meja Kecil dan Harum Darahmu
Meja kecil sering kali melambangkan keintiman dan kebersamaan dalam interaksi sosial. Dalam konteks puisi ini, meja kecil dapat diartikan sebagai tempat di mana kenangan, pembelajaran, dan momen-momen penting terjadi. Ungkapan "Di atas meja" menunjukkan bahwa penyair sedang merenungi kenangan kebersamaan dengan seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, di mana mereka saling berbagi cerita dan ilmu.
Frasa "Masih tercium harum darahmu" memiliki makna mendalam. Darah dalam puisi ini dapat dimaknai sebagai bentuk pengorbanan, di mana seseorang telah memberikan sesuatu yang berharga bagi penyair, baik berupa waktu, pengalaman, maupun pengetahuan. Meskipun orang tersebut telah tiada, penyair masih merasakan dampaknya. Penggalan puisi ini juga mengandung makna universal bahwa manusia sering kali sulit menerima kepergian orang-orang yang berperan besar dalam hidupnya, meskipun pada akhirnya setiap manusia akan menghadapi perpisahan.
2. Halaman-halaman Buku
Frasa "Di halaman-halaman buku" adalah metafora yang menggambarkan perjalanan hidup seseorang. Buku sering diibaratkan sebagai simbol kehidupan, di mana sampul awal mencerminkan awal kelahiran manusia, halaman-halamannya menggambarkan perjalanan hidup, dan sampul akhir melambangkan akhir dari kehidupan itu sendiri.
Dalam konteks puisi ini, halaman-halaman buku mencerminkan perjalanan hidup penyair, yang terus merenungkan jasa-jasa yang telah diberikan oleh seseorang yang ia hormati. Setiap lembaran buku yang ia baca seolah mengingatkannya pada ajaran, kenangan, dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh sosok tersebut.